Gundah-Gulana

313 18 0
                                    

Karin merasakan panas matahari mulai menghangatkan tubuhnya yang meski telah berselimut jaket tebal masih kedinginan. Ia duduk di atas sebuah batu besar sementara Jaya memilih berselonjor di bawah sebatang pohon rindang, kepalanya yang plontos itu ditutupinya dengan selembar handuk kecil.

"Aku betah di Bajawa, udaranya sejuk. Sayang, besok kita udah harus ke Riung," kata Jaya.

"Riung jauh nggak dari sini?" tanya Karin.

"Lumayan, empat jam perjalanan. Tapi kalau kita mau diving dan menjelajah pulau-pulaunya perlu waktu beberapa hari makanya harus menginap."

"Berapa lama?"

"Sekitar tiga atau empat hari."

"Sepertinya aku nggak bisa ikut." Karin teringat waktu cutinya yang tinggal tiga hari. "Aku mau langsung ke Labuan Bajo aja."

"Evan juga katanya nggak ikut. Baguslah, berarti kamu ada temannya."

"Evan nggak ikut juga?"

"Katanya, sih, gitu. Ngomong-ngomong gimana hubungan kalian? Masih perang dingin?"

"Udah nggak," jawab Karin tersenyum. "Dia sebenarnya baik, malah sering nolongin aku."

"Tapi mood-nya hari ini lagi nggak bagus."

"Oh ya? Bukannya dia biasa gitu?"

"Nggak, kok," sanggah Jaya. "Aku kira kalian lagi berantem."

"Nggak, kami udah baikan."

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara Evan dan Shean. Keduanya terlihat muncul dari balik rimbun pepohonan sambil bergandengan tangan. Entah mengapa Karin tak nyaman melihatnya. Bayangan kedekatan Evan dan Shean barusan lantas berkelebat di kepalanya, berfoto berdua, tertawa-tawa, mereka terlihat begitu akrab. Seingat Karin, Evan tak pernah bersikap begitu padanya. Sepanjang perjalanan, lelaki itu lebih sering bersikap dingin dan marah-marah.

Karin membuang pandangannya ke arah dua buah gunung yang berdiri berdampingan nun jauh di sana. Cantik sekali. Puncaknya tampak tertutupi selapis kabut tipis sedangkan kakinya dikerubuti pepohonan pinus dan cemara.

"Shean tadi kepeleset, angkelnya terkilir," kata Evan sambil memapah Shean untuk duduk di atas batu.

Karin terkejut mendengarnya lalu buru-buru menghampiri Shean. Dilihatnya pergelangan kaki Shean sedikit bengkak. "Sakit?"

"Lumayan. Aku tadi kurang hati-hati, jalanan agak basah dan licin."

"Aku pijat sedikit, ya?" tanya Karin.

Dilihatnya Shean mengangguk sambil meringis menahan sakit. Dengan tangkas, Karin menggulung celana panjang Shean, mengolesi kakinya dengan krim pereda nyeri lalu memijatnya. Ia melembutkan pijatannya ketika mendengar Shean mengaduh. "Tahan sedikit, ini harus dilemaskan otot-ototnya." Tangan Karin bergerak luwes memijat dan mengurut daerah pergelangan kaki Shean lalu naik hingga ke betis.

"Aih, jagoan kamu, Rin!" seru Jaya kagum.

"Aku biasa pijitin ayahku."

"Aku juga mau, dong, dipijit!" Jaya berjongkok di samping Karin. "Kakiku pegal banget, nih! Dari kemarin aku ingin cari tukang pijit tapi takut dikirain macam-macam."

Karin cuma mencibir lalu melanjutkan memijat.

"Coba sekarang kamu berdiri, Shean."

"Sini aku bantu," ujar Evan, tergopoh mendekati Shean.

"Nggak usah dibantu dulu. Ayo, sekarang coba jalan."

Shean tampak melangkah pelan-pelan dengan sedikit tertatih. "Udah mendingan. Makasih, Rin."

Backpacker In Love (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang