#4: Bunga Tidur

29 3 0
                                    

Cantik sekali. Sungguh, semesta memperlakukannya dengan baik. Untuk kesekiankalinya aku terpanah oleh parasnya. Pipinya yang tembam seakan menarikku untuk bertanya siapa namanya, tapi rasa malu dan ego selalu membentengi niat ini.

Detik demi detik mulai menyurutkan kopi di gelasku. Semakin malam, jalanan semakin sepi, sudah sedikit motor yang lewat. Entah aku mendapat keberanian darimana untuk bertanya, "Perempuan tadi, siapa namanya?" Tanyaku kepada Firdan yang sedang meminum tegukan terakhir kopinya.
"Elsi, panggil saja Eci. Aku dan dia satu sekolah, pun dengan Kibal. Ya kan, Bal?" Seru pemuda itu untuk mengajak Kibal terlibat dalam percakapan.
"Iya, dia termasuk salah satu anak hits disekolahku."

Jadi namanya Eci, syukurlah, berarti dia bukan masa laluku, berarti aku bisa mendekatinya tanpa memikirkan masa lalu yang kelam itu, untuk membuat lembaran baru dengan wajah yang hampir sama, gumamku. Ini adalah malam keduaku di Bandung, malam yang memberikan jawaban atas semua pertanyaan yang sedari kemarin mengepul dikepala.

Untung saja semesta memberikan jawaban secara cepat, jika tidak, mungkin aku akan terlarut dalam pertanyaan tanpa buntu itu, gumamku ketika sedang meneguh sisa kopiku.

"Dan, aku ingin pulang, sudah jam 11, nih."
"Lah, aku kira kamu akan menginap malam ini?"
"Ah, nggak, takut merepotkan." Aku memang tidak suka merepotkan seseorang, apalagi orang yang baru kenal. Tidak enak hati saja rasanya.
"Yasudah, hati - hati di jalan, Ri."

Jalanan sudah sepi, mungkin jalanan mengerti bahwa ia harus segera sepi agar aku dapat memikirkan bagaimana cara untuk mengawali perkenalan. Ah sial! Aku sangat bingung memikirkan cara yang terbaik. Oh bulan, tolong turunkan cara yang biasa kau lakukan untuk dekat dengan matahari, aku sangat membutuhkannya saat ini.

Tiba - tiba ada bunyi aneh yang keluar dari dalam perutku. Oh iya, aku belum sempat makan dari tadi pagi. Aku melirik kanan-kiri, melihat makanan apa yang cocok untuk ku makan malam-malam begini.

Nasi goreng, sepertinya cocok untuk mengisi perutku yang sudah memberontak ini. Aku segera menghampiri penjual nasi goreng itu,
"Kang, nasi goreng satu, jangan terlalu pedas, nggak pake acar, kerupuknya banyakin."
"Siap, makan disini atau dibungkus?"
"Makan disini saja, Kang."
"Silahkan duduk dulu, Mas."

Aku menunggu pesanan ku selesai. Tempatnya lumayan nyaman, seperti kantin, banyak pilihan makanannya, ada yang menjual minuman juga, pokoknya strategis untuk membawa pasangan kesini.

Ehh, tunggu, strategis untuk membawa pasangan kesini? Kenapa tidak ku ajak saja Eci untuk makan disini? Lagipula harganya sangat cocok untuk pelajar sepertiku. Ah, benar, ajak saja kesini, makan nasi goreng, lagipula disini juga ada penjual es, jadi tidak perlu repot jika haus, gumamku.

Akhirnya aku dapat tempat yang bagus untuk mengajaknya jalan. Tunggu, tapi bagaimana caraku mengajaknya? Entahlah, itu urusan besok, sekarang yang harusnya ku pertanyakan adalah 'Kapan makananku sampai?'.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 07, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tumbuh & RapuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang