"Pa, mama telah berusaha memperbaiki banyak hal setahun ini. mama telah mencoba menjadi lebih bijaksana dan sabar, pa. mama sudah mencoba sebisa mama bertahan setahun ini baik anak dan papa. mama juga sudah mencoba menerima takdir mama selama setahun ini pa. Berbagi dengan wanita lain dan mengurus anak-anak yang subhanallah.
Pa, mungkin papa dan anak-anak seperti ini berawal dari mama yang tak bisa dan pintar mengurus keluarga. Dan sekarang hasil setahun ini, setidaknya anak-anak sudah berpikir dewasa. Monita yang sudah menikah, puspita yang kerja dengan mandiri, farhan mulai serius sekolah dan rehan juga mulai serius belajar. Dan kali ini, mama mau meminta sesuatu dengan papa." Yani turun dari sofa dan duduk dengan bersimpuh dibawah kaki suami tanpa melepaskan genggaman tangannya kepada suami. Dengan mata yang berlinang dipelupuk mata. Yani melanjutkan permintaan.
"Pa, mama mohon..." Yani masih menahan air matanya di sudut matanya. Lalu melepaskan satu tangannya dan mengambil satu map yang telah ia siapkan sebelum mengajak pembicaraan. Lalu menghapus linangan air mata dipipinya. seraya mulai bersuara dengan lembut nan penuh penekanan dan permohonan
"pa, ini surat pengajuan perceraian. mama menjadi pihak yang tergugat. Mama tidak minta apapun dari papa. Rumah, harta, mobil. Tidak pa. Untuk rumah dan mobil dalam rumah ini, biarkan untuk anak-anak pa. Papa bahagiakan tinggal bersama leni dan amira. Maka papa tinggallah disana pa. Yang akan mengurus rumah ini desi dan suaminya serta ada dyan dan farhan. Rehan akan mama bawa andai rehan mau." Yani menyeka air matanya yang ia tahan. lalu meletakkan map di samping suaminya duduk. dan memegang tangan suami dengan erat.
"Pa, mama sudah menyiapkan pengacara. Mama sudah konsultasi selama ini. Mama ingin bahagia pa. Keterdiaman mama bukan berarti mama sudah menerima apa yang papa lakuin ke mama. Mama tau mama salah dan mungkin karena itu papa mendua. Namun 8 tahun papa khianatin mama, mama mencoba bertahan serta satu tahun ini mama sudah mencoba seperti yang mama katakan. Rasa sakit dan tak rela itu masih ada pa. Mama tak bisa pa. Lepasin mama pa. Mama mohon... aku mohon pa."
"Kamu yakin bercerai dengan ku, ma?"
"Pa, mama yakin pa. Mungkin dimasa depan saat kita tlah bercerai. mama tak kan bisa hidup mewah seperti dengan papa. Baik mobil, makan, gaya hidup pa. Tapi setidaknya mama bahagia lahir dan batin pa."
"Beri aku waktu ma."
"Pa, mama udah beri waktu papa setahun dengan perubahan mama. Mama tidak meminta papa menceraikan leni seperti dahulu-dahulu pa. Biarkan kan mama yang mengalah demi kebahagiaan papa dan mama. Anak-anak juga tahu mama tak bahagia pa selama setahun ini. Mereka sudah menyetujui semua ini pa. Bahkan rencana mama pun sudah mereka diskusikan pa. Lepaskan mama pa. Koper mama sudah siap. Tinggal rehan dan papa yang belum memutuskan pa"
Jhon terkejut dan matanya menjadi sayu serta sendu.
"baiklah ma." Jhon menandatangani surat.
"Terima kasih pa. Pengacara akan mengurus nya. Untuk masalah pengacara. mama sudah menyewa hingga akhir dan sudah membayar. Mama sekali ucapkan, terima kasih pa. Mama pergi pa. Untuk rehan. Jika sebulan lagi dia memutuskan. Akan ada orang yang menjeput pa. Assalamualaikum". Ucap yani seraya mencium tangan suaminya untuk terakhir kali.
Tidak ada yang tahu bahwa hari itu adalah sebuah momentum layaknya bom atom yang meledak. hanya saja, dibalik ketenangan yang terlihat, tak ada yang tahu betapa dalam luka tertancap. berapa lebar luka menganga.
Yani menaiki mobil yang iya pesan, lalu melambaikan tangan. Dia pergi. Bukan menuju kampung halaman, bukan menuju rumah teman atau persembunyian. Dia pergi mencari kebahagiaan.