Secangkir Kopi Bajawa

297 20 0
                                    

Rumah makan ini tak seberapa besar, dindingnya terbuat dari bilik bambu dan beratap ijuk. Karin memperhatikan setiap detil ornamen di dalamnya. Di bagian atas ruangan terdapat aneka ornamen khas Flores yang juga terbuat dari bambu dan tulisan "Maromay" yang menurut pemiliknya merupakan sapaan selamat datang. Ia dan kedua temannya kini duduk menanti pesanan, dua cangkir kopi Bajawa, secangkir teh manis dan tiga tangkup roti isi cokelat.

"Jadi abis nganterin Shean, lo langsung pergi lagi?" tanya Jaya.

"Iya. Soalnya besok gue, kan, nggak ada waktu lagi untuk keliling Bajawa."

"Tahu gitu gue aja tadi yang nganter Shean."

"Nggak apa-apa," kata Evan santai lalu menyeruput kopi pesanannya.

"Keadaan Shean sekarang gimana?" tanya Karin.

"Masih susah jalan. Barusan aku harus gendong dia sampai ke kamar."

Bayangan kemesraan Evan dan Shean mendadak kembali berkelebat di kepala Karin. Ia mendengus kesal.

"Kenapa, Rin?" tanya Jaya. "Kamu mau pulang?"

"Iya. Sebaiknya kita pulang, udah sore."

Namun tiba-tiba datang pemilik rumah makan memberikan tawaran menarik. "Basong mo dapapijat? Ko cape hilang, badan segar."

Jaya yang sejak kemarin memang ngebet untuk dipijat langsung menyambut antusias, "Mau, Mamak! Di sini ada tukang pijat?"

Ibu pemilik warung tampak tersenyum lantas menjelaskan bahwa yang ia maksud adalah berpijat di bawah air terjun. Didorong rasa penasaran, mereka memutuskan pergi ke sana. Ketiganya berjalan ke arah barat, menyusuri bebatuan dengan aliran air panas yang mengalir di sela-selanya hingga sampailah mereka di sebuah air terjun yang tak seberapa besar. Karin tersenyum geli melihat Jaya yang bersorak kegirangan lalu langsung melompat dan membenamkan diri ke dalam kolam. Beberapa menit kemudian, ia tampak muncul di permukaan.

"Ahhh... Segarrrr!! seru Jaya kemudian berenang mendekat ke air terjun.

Sesampainya di sana, ia lantas duduk berselonjor di atas batu yang berada tepat di bawah pancuran air terjun.

"Ini enak banget! Asli, kayak dipijit!"

Karin masih berdiri di tepi kolam. Sementara Evan dilihatnya melangkah memasuki kolam kemudian duduk di samping Jaya.

"Rin, cepetan, sini!" seru Jaya.

Karin tak bergerak, ia agak risi. Batu di bawah air terjun itu tak begitu besar, lebarnya tak sampai dua meter, sehingga mereka bertiga pasti harus duduk berdempetan.

"Aku di sini aja, deh!" kata Karin lalu duduk di tepi kolam, kakinya terayun-ayun memercikkan air ke sekelilingnya.

"Rin, ayo! Kamu harus coba." Tahu-tahu Jaya menarik tangannya menuju ke air terjun. Mau tak mau ia pun menurut.

"Van, geser dikit," kata Jaya.

Karin meraba batu yang akan didudukinya. Tidak licin. Lalu ia duduk di samping Evan. Ketiganya kini duduk berdempetan.

"Jay, geser dikit, dong!" kata Evan.

"Ya ampun! Mau geser kemana lagi? Ini udah mentok!" protes Jaya. "Rin, kamu bisa duduk, kan?"

"Bisa, kok."

"Geser ke sini, Rin. Nanti kamu jatuh lagi," kata Jaya sembari menggeser duduknya.

Alih-alih bergeser untuk merapat, Karin malah menjauh. "Nggak apa-apa, ini udah bisa duduk, kok."

"Sip!" sahut Jaya.

Karin memejamkan matanya. Merasakan kucuran air hangat yang memijat-mijat kepala, pundak dan punggungnya. Sumpah, ini memang nikmat banget! Namun Karin enggan berlama-lama, ia pun pamit naik lebih dulu. Alasannya, takut masuk angin.

Setelah mandi dan berganti pakaian, ia memutuskan menunggu di Rumah Makan Maromay sambil berbincang dengan pemilik warung. Badannya kini terasa amat rileks, seperti mendapatkan energi baru. Mendadak muncul keinginannya untuk ingin mencicipi kopi Bajawa yang sangat terkenal itu. Ia memesan secangkir, membaui aromanya yang harum dan menyengat lalu menyeruputnya dua teguk saja. Oh, jadi gini rasanya. Bukan cuma pahit tapi ada jejak sedikit rasa asam yang tertinggal di lidah Karin. Menurut penjaga warung, kopi arabika khas Bajawa ini istimewa lantaran ditanam secara organik, tanpa pupuk kimia.

"Kamu, kok, minum kopi?"

Karin terlonjak kaget karena tahu-tahu Evan sudah ada di sampingnya.

"Cuma nyicip, penasaran. Jaya mana?"

"Katanya masih ingin dipijit, sebentar lagi juga selesai."

"Baguslah, berarti aku nggak punya hutang buat pijitin dia."

"Kamu beneran mau pijitin Jaya?"

Karin heran melihat reaksi Evan yang serius menanggapi perkataannya barusan. "Ya ampun, Evan! Aku, kan, tadi cuma bercanda."

Lalu meledaklah tawa Karin. Kemudian sekonyong-konyong Evan menyambar cangkir kopi di atas meja lalu meneguknya habis.

"Hei! Itu kopi aku!"

"Kamu nggak boleh minum kopi banyak-banyak. Nanti kalau penyakitmu kambuh lagi, aku yang repot," kata Evan.

"Iya, deh," sahut Karin merajuk.

"Aku bercanda, kok," kata Evan tersenyum. "Kemarin malah aku yang bikin kamu repot."

Karin nyaris tak percaya pada penglihatannya. Seingatnya, ini kali pertama Evan tersenyum padanya.

"Iya, tapi gara-gara kecerobohanku kamu sampai sakit."

"Udah, jangan diingat-ingat lagi. Cuma lain kali kamu harus lebih hati-hati. Perilaku sembrono cuma bikin celaka."

Perkataan Evan ada benarnya. Sepertinya ini saatnya ia harus belajar lebih disiplin dan bertanggung jawab agar tak lagi menyusahkan orang lain.

"Jadi, besok rencananya gimana?"

"Dewo dan yang lain mau ke Riung, tapi aku mau langsung ke Labuan Bajo. Soalnya cutiku mepet. Kalau kamu gimana?"

"Sama, cutiku tinggal tiga hari."

"Kalau gitu besok kita berangkat sama-sama ke Labuan Bajo."

"Jadi kita pisah dari rombongan?"

"Kamu keberatan nggak kalau kita cuma jalan berdua?"

Karin menatap Evan, ragu-ragu untuk menjawab.

"Mmm... Nggak. Kalau kamu?"

"Aku juga nggak."

"Soal aturan, apa masih berlaku?"

"Menurut kamu?"

"Sepertinya nggak perlu. Menurut kamu?"

"Menurutku juga."

"Kalau gitu toss dulu, dong!"

Karin lega karena kini mereka telah berbaikan. Ia tersenyum memandang wajah Evan yang tertawa lepas. Baru kali ini aku melihatnya begitu gembira.

Backpacker In Love (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang