"Alex," Ezra mengernyit setelah membaca kartu identitas di tangannya. "Apa kau pernah tanya Papa arti dari namamu?"
Alexander menoleh, berhenti meruncingkan ranting . Sorot matanya berubah saat melihat sang adik tengah membuka isi dompet miliknya, sibuk mengeluarkan beberapa lembar Lempira dan beberapa kartu dari sana. "Kau pernah izin dulu tiap kali mau mengambil barang pribadi orang lain?" tanggapnya datar.
Ezra berhenti membaca keterangan di kartu pers Alexander. Ia menyengir lebar. "Milikmu 'kan milikku juga."
Alexander menampakkan raut disabar-sabarkan. "Tapi milikmu adalah milikmu saja? Sangat adil."
"Jelas dong. Masa celana dalamku juga celana dalammu? Kak Arman bakal ngakak ntar."
"Astaga, Ez, omonganmu."
Ezra cekikikan di tempatnya duduk melihat ekspresi kesal sang kakak. Ia kemudian berdiri, membawa smartphone-nya, memperlihatkan pada Alexander. "Nama kita terdiri dari empat kata semua, ya? Kau tahu siapa yang memberimu nama tengah Ignacio Josias? Lihat, nih, hasil risetku. Semuanya bermakna sama, api – atau menyalakan api. Siapa pun yang memberimu nama Ignacio Josias bakal tak akan percaya melihatmu seperti ini. Nggak ada unsur api sama sekali." Ezra menjelaskan dengan penuh semangat sambil duduk bersila di samping Alexander. Tangannya yang tak pernah berhenti bergerak mulai iseng mencabut rumput di sekitarnya.
Alexander menyingkirkan ranting dan pisau, lantas menerima sodoran smartphone dari Ezra. Ia membaca beberapa riset sang adik tentang asal usul nama Ignacio dan Josias, lantas mengangguk. "Papa yang kasih nama itu," sahutnya singkat.
Ezra mengembuskan napas keras-keras. "Iya, tadi 'kan pertanyaanku, apa kau pernah tanya Papa arti dari Ignacio Josias?" ulangnya, kali ini dia yang mencoba disabar-sabarkan.
"Aku tak ingat. Tapi aku tahu nama tengahku bisa berarti terkait dengan api, penciptaan api, atau tokoh tertentu bernama sama." Alexander mengembalikan smartphone di tangannya pada sang adik. "Memang kenapa?" tanyanya, kembali bernada datar.
"Papa juga yang kasih nama Kak Elisa dan aku?" Ezra menatap kakaknya lekat.
"Lisa sepertinya dari Mama. Kau tahu nama lengkap kakak kita?" Alexander balas menatap Ezra dengan sorot meredup.
"Elisa Ayunina Putri Aranda." Ezra menggumam, berkedip. "Nama yang indah. Putri, hm. Sangat Indonesia."
"Betul." Alexander mengangguk. "Namamu juga."
"Ezra Rednaxela Putra Aranda," Ezra mengucapkannya dengan kening berkerut. "Itu juga nama Indonesia? Siapa yang ngasih nama itu? Susah bener."
"Papa." Alexander perlahan mulai tersenyum, meski samar. "Putra juga nama Indonesia, 'kan?"
"Ya, jelas. Kenapa namamu tak ada Putra?" cecar Ezra.
Alexander mengedikkan bahu. "Maunya Papa begitu."
Ezra berdeham sejenak sebelum bicara. "Kau bukan anak tiri, 'kan?"
"Bukan." Alexander akhirnya tersenyum lebih lebar, seperti menahan geli. "Meski namaku tidak ada unsur Indonesia, nama kita ada kemiripan."
Bola mata Ezra membelalak. "Mirip apanya? Nama belakang, Aranda? Itu sih sudah jelas!"
"Rednaxela," cetus Alexander kalem. "Eja dari belakang."
Sorot mata Ezra mengarah ke kanan atas, menerawang. "Red—tunggu, A-l-e-x-a-n-d-! Whoaaa!! Rednaxela itu Alexander dibalik?! Gila! Nggak nyangka! Kukira Kapak Merah atau nama tokoh Honduras siapa gitu!"
Alexander tertawa kecil. "Kapak Merah?!" ulangnya sambil tergelak geli. "Papa mungkin sedang iseng saat memberimu nama itu—"
"Atau dari dulu Papa tahu kalau kau dan aku tak bisa dipisahkan—" Ezra mulai menampakkan raut jail.
"Kupikir karena kita saling bertolak belakang." Alexander masih tertawa. Ia berdeham beberapa kali sebelum melanjutkan bicara dengan nada lebih halus. "Begini saja. Tiap kali kau memanggilku Alex, akan kubalas dengan 'Ya, Xela?', bagaimana? Sounds good?"
"UGH, KAYAK ORANG PACARAN! XELA ITU NAMA CEWEK! NGGAK!!" Ezra berdiri sambil mencak-mencak, sementara kakaknya tetap duduk di atas rumput, tertawa lebih keras.
Chacho baru tiba di kebun belakang, membawa dua ekor kelinci mati. Langkahnya terhenti melihat kehebohan kakak beradik Aranda. "Apa aku melewatkan sesuatu?" Sang ketua geng mengernyit melihat polah Ezra, lantas terpana mendapati Alexander tengah tertawa lepas. Fenomena langka.
"Chacho, kau tahu nama tengah Ezra adalah Rednaxela, dan jika dibaca dari belakang akan berbunyi namaku?"
"Alex, diem nggak!"
Chacho melongo tak paham.
"Dia tak mau terima kenyataan kalau namanya bermakna se-sederhana itu. Kubilang padanya, tiap kali dia memanggilku Alex, aku bisa gantian memanggilnya 'Xela'...."
Chacho mendekati Alexander, duduk bersila sambil menyerahkan dua ekor kelinci abu-abu yang telah ia ikat dengan kain dan kayu pada sahabatnya tersebut. Rautnya yang masih bingung ikut berbinar. "Sheila siapa, Papi?" tanyanya sepenuh hati.
"ARGH, ARMANDO!"
Dua kelinci malang berayun membentur lengan sang ketua geng, diikuti tonjokan berupa kepalan tangan. Chacho sontak mengaduh.
Giliran Ezra yang terbahak sampai memegang perut.
***
PS:
In case you forget their names:
1. Elisa Ayunina Putri Aranda
2. Alexander Ignacio Josias Aranda
3. Ezra Rednaxela Putra Aranda
Chacho nggak usah ditanyain, ngga bakal paham.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chartreuse - On the Other Side
Ficción GeneralIni kayak semacam... persinggahan[?]. Jadi, ketika aku stuck dengan alur utama, aku suka refreshing, tetep nulis Chartreuse meski bukan untuk 'jalur resmi'. Kupikir ini juga bisa kubagi dengan kalian, apalagi yang mulai menanyakan update part :'v Nu...