Chapter 5 : SAVE ME

79 5 2
                                    







Tubuh itu tampak terombang-ambing dalam ketidakpastian. Hidup atau mati, hampa. Entah apa yang akan terjadi detik berikutnya, menit berikutnya atau mungkin esok hari, jika memang esok itu ada. Mimpi pendek itu merubah segalanya. Ah, itu bukan mimpi, tapi sebuah kenyataan. Kenyataan yang jauh dari kata manis –pahit tentunya. Dan ia harus menelan bulat-bulat kenyataan pahit itu.

Leonora Fairclough, sang penakluk galaksi –atau mungkin yang ditaklukan galaksi.  Terdengar konyol memang ketika seorang yang notabenenya penakluk galaksi ditaklukan oleh apa yang seharusnya ia taklukan. Tapi itulah kenyataanya.Leonora masuk dalam jebakan semesta.

***

           

"Setelah kehilangan Wilbur, apakah aku akan kehilangan diriku sendiri? Haruskah aku berjuang atau menyerah dengan keadaan?" Pertanyaan itu sedari tadi memenuhi pikiranku.

Aku mungkin ditakdirkan untuk jatuh –lagi, lagi dan lagi. Sulit rasanya untuk kembali tegak, mengembangkan sayap, kemudian melesat di angkasa. Sayapku seolah mati rasa, mereka enggan membawaku terbang, merasa lebih bahagia melihat tuannya menderita di tanah.

Dan sekarang, disinilah aku. Berjuang dan mati.

Barangkali kematian sedang melambaikan tangannya padaku, mulai menyapaku, kemudian menjemputku. Bukannya ingin mengelak, bahkan jika aku berjuang sekalipun, ia tetap datang. Seperti mengharap pelangi di malam hari. Mustahil. Ya, mustahil untuk menghindar.

Sempat terbesit dalam pikiranku, untuk inikah Profesor Igo mengirimku? Menjadikanku bidak catur yang seenaknya ia kendalikan aku di papan angkasa yang luas, kemudian kalah dalam taruhan takdir. Atau mungkin kelinci percobaan yang siap menerima apa saja, mati sekalipun tetap terima.

           

Aku mencoba bertahan di bibir roket. Berpegangan erat pada puing roket yang tersangkut di celah kecil. Sejenak bisa bernafas dengan lega. Celah kecil bukanlah sesuatu yang buruk.

Namun sayangnya, puing yang kugenggam seolah bosan, ingin menerobos keluar. Muncul retakan disekitar celah kecil, semakin lama semakin melebar, menciptakan rongga yang lebih besar. Tanganku menggapai-gapai apa saja untuk kujadikan tumpuan. Tapi terlambat, waktu seperti berjalan dua kali lebih cepat.

Pusaran merah itu menghisap tubuhku, menelanku layaknya sebuah mangsa bagi predator.

Tubuhku terombang ambing kesana kemari seperti berada di laut lepas, namun kali ini laut yang gelap yang tak berdasar. Kepalaku berdenyut hebat,macam ada ratusan jarum yang ditusukkan bersamaan. Isi  perutku seolah memberontak ingin keluar. Mungkin ususku sudah terurai kesana kemari atau bahkan mungkin membentuk simpul.

Aku mencoba membuka mataku. Berat. Semakin aku mencoba, semakin kepalaku terasa berdenyut ingin pecah.

Aku seperti berada dalam fatamorgana, tubuhku seolah bukan pada tempatnya. Pikiranku juga tak menentu. Bak seseorang yang sudah meminum alkohol berjuta juta liter, aku seakan terjebak dalam ilusi. Disana hampa, tak berujung.

Hingga akhirnya

           

Buugghhhh...............

Kepalaku  seperti terbentur pada batu besar, akupun kehilangan kesadaran. Sepertinya pusaran merah yang menelanku membawaku ke suatu tempat.

***

           

Kiriman bunga papan datang silih berganti. Ya, setelah misi The Red Humanity ini gagal yang ke-4 kalinya, media gencar memberitakan gagalnya misi ekspansi ini. Semua kru terpukul dengan kejadian ini, ruang kerja misi The Red Humanity pun sudah mulai sepi. Pemerintah sudah membubarkan kru yang bekerja di misi bunuh diri ini.

Waktu itu pukul 10 malam, Klee adalah orang terakhir yang berada di ruang kerja The Red Humanity, dia masih sibuk mengemas barang barang-barangnya.

"mataku berat sekali,sepertinya aku membutuhkan kopi. Semoga saja masih ada kopi yang tersisa di restroom." Batinnya sambil memasukkan secarik kertas ke dalam tasnya.

Klee pun langsung menuju restroom yang berada di lantai 2 ruang kerja The Red Humanity. Untungnya masih ada kopi tersisa, meski pun hanya sedikit tapi menurutnya itu cukup untuk menghilangkan rasa kantuk.

Kepala Klee seketika merasa penat. Akhir akhir ini dia memang jarang tidur karena sibuk dengan pekerjannya. Dia berniat untuk istirahat sejenak di ruang televisi meski hanya untuk merebahkan badannya.

          

Langkahnya terhenti ketika dia melihat cairan merah di lantai menuju ruang televisi.

"Cairan apa ini?" Klee sedikit berjongkok untuk memastikan cairan yang ia lihat.

"hmm pasti ini jus buah naga milik Galina yang tumpah, dia kan fanatik dengan buah naga." Acuh Klee. Ia tetap melanjutkan langkahnya menuju ruang televisi sambil meneguk kopi yang sedari tadi ada di tangannya.

Bau anyir semakin terasa ketika dia semakin dekat ruang televisi. Klee merasakan kejanggalan. Mana mungkin ada bau anyir di sini, jelas-jelas pengharum ruangan ada disetiap sudut. Seharusnya wangi apel yang tercium.

"praannggggggg.........'' Genggamannya lepas, kopi yang ada di tangan Klee pun jatuh.

Tubuhnya mematung hebat ketika dia melihat laki laki paruh baya yang berlumuran darah dari kepala sampai ujung kaki.

"Prof Igo..........!!!!!!" pekiknya dalam hati.

Dadanya sesak ketika dia melihat Prof.Igo dalam keadaan tak bernyawa. Apalagi tubuhnya berlumuran darah dan kepalanya seperti akan terlepas dari lehernya. Semua ruangan itu penuh dengan darah, bahkan lantai yang Klee pijak tergenang oleh darah. Entah apa yang terjadi.

Tangan Klee mencoba masuk kedalam saku kanannya.

"ctaakkkkkkk" telepon genggamnya jatuh.

Cengkeraman Klee tak cukup kuat untuk memegang telepon genggamnya,dia masih terkejut, tubuhnya melemas.

           

Telepon genggamnya masuk ke dalam genangan darah yang sedari tadi terus mengalir menuju dapur restroom. Sekarang tak hanya Profesor Igo yang berlumuran darah, telepon Klee pun sama.

Namun tak ada pilihan lain, Klee harus cepat menghubungi 911 agar mayat Prof.Igo cepat dibawa dan di otopsi.

Dengan mata tertutup, Klee mencoba memberanikan diri untuk menggapai telepon genggamnya yang jatuh di genangan darah.

Akhirnya dia berhasil menggapai telepon genggamnya, dia langsung menekan tombol keypad dengan tangan yang bergetar hebat dan wajah yang pucat. Sesekali dia salah menekan angka, karena telepon genggamnya yang licin berlumuran darah.

"Hallo, ini dengan layanan 911 ada yang bisa kami bantu?" jawab sebuah suara disebrang telepon.

"..."



































to be continued

Last DimensionWhere stories live. Discover now