BAB 6 : Gadis Kecil

724 72 17
                                    

Dengan khusyuk, Rajwa tenggelam dalam lantunan ayat Al-Qur'an yang tengah ia baca. Setelah shalat subuh tadi, Rajwa lebih memilih untuk membaca kitab akhir zaman yang merupakan penyempurna kitab-kitab sebelumnya. Namun, tiba-tiba suaranya bergetar, tenggorokannya terasa tercekat seakan ada yang menyumbat esofagusnya, saat bibir tipisnya melantunkan ayat kedua ratus enam belas dari surat Al-Baqarah yang berarti:

"Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah:216).

Dengan air mata yang sudah mengantri untuk menerjuni pipi mulusnya, Rajwa menyudahi bacaan Al-Qur'annya. Setelah itu, dia memeluk kitab suci itu sembari menangis tergugu.

Tanpa Rajwa sadari, sedari tadi ada seseorang yang memerhatikannya di celah pintu yang tidak tertutup dengan sempurna. Seseorang itu adalah seseorang yang sangat memahami isi hati dan pikiran Rajwa. Seseorang itu adalah seseorang yang juga bisa merasakan kegundahan hati Rajwa karena mereka memiliki sebuah ikatan batin dan darah yang mengalir di tubuh mereka adalah sama. Ya, seseorang itu adalah Rahman, orang yang selalu mengupayakan kebahagiaan untuk putrinya dan juga keluarganya.

"Gadis kecil abi ternyata masih sama seperti dulu, cengeng."

Dengan perlahan Rajwa mendongakkan kepalanya dan menatap Rahman yang turut duduk di sampingnya. Rajwa menyimpan terlebih dahulu mushafnya sebelum menabrak tubuh Rahman untuk ia peluk dengan erat. Air matanya kembali tumpah, tidak peduli dengan baju koko Rahman yang menjadi basah.

Tangisan kali ini, berbeda dengan tangisan beberapa tahun silam. Karena tangisan kali ini, bukan lagi karena gadis kecil itu terjatuh dari sepeda, bukan lagi karena gadis kecil itu dijahili oleh teman-teman sebayanya. Tapi, tangisan kali ini adalah tangisan seorang gadis yang mengadu kepada ayahnya bahwa dia tengah merasakan getirnya berharap lebih kepada seorang manusia.

"Abi tahu, gadis kecil abi ini sudah beranjak dewasa dan sudah mengenal cinta."

"Maafin Rajwa, Bi," lirihnya masih dengan isakan yang terdengar sangat memilukan di pendengaran Rahman.

"Nak, rasa cinta adalah fitrah yang diberikan oleh Allah untuk setiap hamba-Nya. Wajar jika kamu merasakannya. Hanya saja, kamu harus pandai-pandai dalam menempatkan rasa itu. Jangan sampai rasa itu adalah rasa yang melalaikanmu terhadap kewajibanmu sebagai hamba-Nya."

Rajwa kembali tergugu dalam tangisnya. Rahman mengelus punggung anak gadisnya yang masih terbalut mukena putih. Berharap usapan itu bisa sedikit meredakan sesak yang menghimpit hati Rajwa.

Maryam, yang baru saja kembali ke kamar usai menunaikan hajatnya di kamar mandi, menghentikan langkahnya saat melihat Rajwa tengah menangis dalam dekapan Rahman. Langkah gadis yang mengenakan piama bergambar doraemon itu kembali berputar dan lebih memilih menuju dapur untuk mengambil segelas air. Maryam sadar, jika Rajwa memerlukan waktu berdua dengan abinya.

"Gak boleh kepo, Maryam. Gak baik. Nanti kalau kamu nguping, gagal dong jadi calon istri shalihahnya A Zikri," monolognya sambil berjalan dengan ringan meninggalkan kamar yang masih dihiasi oleh tangis Rajwa.

"Maafin Rajwa karena Rajwa ngingkarin komitmen Rajwa ke Abi, kalau Rajwa tidak akan menaruh rasa cinta ini untuk ikhwan lain selain dia yang telah melakukan akad atas nama Rajwa kepada Abi."

Rahman memejamkan matanya sejenak. Dia ingat, di mana anak gadisnya itu mengucapkan komitmen itu ketika masih berumur tujuh belas tahun.

"Qadarullah, Nak. Manusia hanya bisa berencana, Allah lah yang Maha Berkehendak," Rahman menarik napas sejenak sebelum melanjutkan perkataannya, "semenjak kamu kembali melangkahkan kaki kamu kemari dengan Riyadh, abi sudah tahu bahwa kamu menyimpan rasa itu kepada Riyadh meski hanya melihat dari sorot mata kamu saat memandang Riyadh."

PecahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang