First Bloom

7.9K 481 78
                                    

[La Fleur]

R

uangan itu senyap untuk beberapa saat. Seorang guru menyodorkan sebuah buku yang sudah terbuka di halaman tertentu.

"Ini catatan perilakunya selama ini, Nyonya. Sudah berkali-kali kami menegur, tapi Jimin sepertinya tidak acuh. Ini mulai menyulitkan, Nyonya." Guru wanita itu menoleh pada sosok yang sedang dibicarakan, lalu kembali menatap wanita tua di hadapannya.

"Maafkan cucuku. Aku memang sangat kurang memperhatikan sikapnya. Aku terlalu sibuk mengurus usahaku." Nenek Jimin berkata penuh sesal.

"Tidak bisakah Anda menyampaikan hal ini pada ayahnya? Setiap kali kami menghubungi, pasti dialihkan pada Anda. Kurasa, mungkin akan lebih baik jika Jimin diberikan nasihat langsung oleh ayahnya."

"Ah... iya... " Nenek Jimin menggigit bibirnya. Menoleh ke arah Jimin sejenak. "Eum... Ayah Jimin—"

"Tidak ada."

Sahutan cepat itu mengagetkan guru dan neneknya. Keduanya menoleh bersamaan pada remaja nakal itu.

"Ayahku itu tidak ada. Jadi, tidak usah menghabiskan waktu Anda untuk menanyai ayahku."

"Jimin-ah, kau tidak boleh berkata seperti itu." Nenek Jimin mengernyit sambil melemparkan tatapan garang pada Jimin. Jimin tidak merasa takut. Ia malah bersandar santai di sofa dengan sebelah kaki bergantung di kaki satunya.

"Jimin?! Jaga sikapmu!" Nenek Jimin mulai menambah tekanan pada suaranya. Ada amarah tertahan dalam peringatan itu. Nenek Jimin masih tahu diri untuk tidak mengacau di ruang guru ini.

Guru Jimin hanya menggeleng pelan. Seperti sudah lelah dan muak memberi teguran. "Kuharap ini bisa menjadi surat peringatan yang terakhir, Nyonya. Pihak sekolah akan mengambil keputusan tegas jika hal ini terulang lagi."

Nenek Jimin mengangguk pelan. Tidak ada yang bisa ia sanggah. Kelakuan cucunya tidak bisa dibela. "Baiklah. Terima kasih, Guru Song. Saya permisi dulu."

Nenek Jimin beranjak. Tentu saja Jimin sudah lebih dulu keluar ruangan. Berjalan lebih cepat agar tidak perlu bersitatap dengan sang nenek.
"Jimin-ah! Kau mau kemana hah?" teriak sang Nenek.

Jimin tidak menjawab dan terus berjalan. Sang Nenek hanya menghela napas kesal melihat tingkah laku cucu semata wayangnya itu.


###


Seseorang mengetuk pintu besar di samping tangga dalam rumahnya. "Hoseok-ah, kau di dalam?"

"Masuklah, Bu." Sahutan Hoseok membuat sang ibu membuka pintu, lalu mendorongnya dengan lengan. Tangannya membawa nampan berisi secangkir teh hangat dan beberapa potong kue manis. Ia letakkan nampan itu di meja kerja Hoseok.

"Kau seharusnya tidak perlu repot-repot, Bu. Tadi di perjalanan aku sudah minum dua gelas kopi." Ujar Hoseok tanpa menoleh pada sang ibu. Ia fokus pada berkas-berkas yang bertumpuk di hadapannya. Berkas yang harus dibaca dan ditandatangani.

"Ini bukan kopi, Hoseok-ah. Ini adalah teh jahe. Baik untuk menjaga kesehatan. Kau harus menjaga stamina tubuhmu." Sang ibu duduk di sofa tak jauh dari meja kerja anaknya.

"Bagaimana dengan anak itu, Bu?"

Ibu Hoseok menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan itu. "Ulahnya semakin hari semakin aneh-aneh saja, Hoseok-ah."

Hoseok menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia melepas kacamata yang tadinya bertengger di pangkal hidungnya. "Dipanggil lagi?"

Sang ibu mengangkat alis. "Bahkan tukang sapu sekolah saja sudah hapal dengan mobil Ibu." Sahut Ibu Hoseok sarkas.

Hoseok berdecak ringan. Ia memijat pelipisnya. Jujur saja kepalanya berdenyut mendengar jawaban sang Ibu.

"Kau harus bicara padanya, Hoseok-ah."

"Aku belum bisa meluangkan waktu, Bu."

"Belum bisa? Kau ini seorang ayah sekarang, Jung Hoseok. Kau harus sadar bahwa waktumu harus kau luangkan untuk anakmu. Sudah setua ini kau masih belum paham juga mana yang prioritas." Sang Ibu mendelik kesal. Rambut putih yang menghiasi kepalanya tidak menghalangi tenaganya yang masih seperti wanita muda. Ia masih mampu berbicara cepat dan bernada tinggi untuk mengomeli anak dan cucunya.

"Kau bisa bayangkan. Dalam tiga bulan ini, sudah tujuh kali Ibu harus datang ke sekolah. Mendapat teguran dari guru. Mulai dari memecahkan kaca toilet, merusak pintu gudang yang tidak boleh dimasuki, membolos sekolah. Yang terbaru adalah merusak taman sekolah yang baru saja dirapikan minggu lalu."

Hoseok membasahi bibirnya dengan lidah. "Apa dia akan dikeluarkan?"

"Belum. Tapi sepertinya sekolah sudah mempertimbangkan hal itu."

Kepala Hoseok semakin nyeri. Ia sendiri tidak tahu harus mengambil tindakan apa untuk menghadapi kenakalan anak satu-satunya itu.

"Sekarang dimana dia, Bu?"

"Di kamar. Tidur. Aku berharap begitu. Terakhir kali aku mengiranya tidur, ternyata ia sudah tak ada di kamar. Hampir saja aku menelpon polisi kalau saja dia tidak kembali dini hari dengan wajah babak belur." Wajah ibu Hoseok menekuk. Kesal, marah, kecewa, dan sedih bercampur. Setiap kali ia mendapatkan kesempatan untuk duduk berbincang dengan anaknya, yang mereka bicarakan tentu si cilik satu-satunya di keluarga mereka itu.

"Apa yang harus kulakukan, Bu?"

"Sudah Ibu katakan. Kau harus bertemu dengannya. Bicaralah. Dia hanya perlu waktumu."

Hoseok menghela kasar. Ia menyandarkan punggungnya yang pegal di kursi kulit andalannya. Sang ibu berniat untuk keluar dari ruang kerja itu, namun langkahnya terhenti karena mengingat sesuatu.

"Ah iya... Sunghee tidak menelponmu ya? Sudah tiga minggu dia tidak datang kesini. Atau sekedar memberikan kabar." Tukas ibu Hoseok.

"Entahlah. Sepertinya dia sedang sibuk. Mungkin menyiapkan pernikahannya." jawab Hoseok asal.

"Sunghee akan menikah? Memangnya dia sudah memiliki kekasih?" Sang Ibu terkejut. Ia kembali mendekat ke meja Hoseok.

Hoseok mengedikkan bahu. "Mungkin. Rumor yang kudengar begitu."

"Kau tidak mencegahnya?"

"Untuk apa, Bu? Itu kan urusan kehidupannya. Aku tidak bisa mencampurinya lagi."

"Tapi kau ini suaminya, Hoseok!"

"Mantan, Bu. Mantan suami." Hoseok menekan kalimatnya.

Sang Ibu tetap bersikeras. "Kau harus mencegahnya!"

"Bu..." Hoseok memasang wajah memohon. Ingin sang ibu berhenti membicarakan mantan istrinya itu.

"Sunghee tidak bisa mengambil keputusan secepat itu. Kau seharusnya juga berusaha untuk mempertahankan Sunghee."

"Tidak ada yang bisa dipertahankan lagi, Bu." Ujar Hoseok dengan nada putus asa.

"Kau ingin anakmu kehilangan ibunya?!"

"Ibu, kumohon. Hentikan ini..."

Sang ibu berdecak. "Ibu benar-benar tidak mengerti dengan pikiran kalian. Kalian benar-benar egois. Kalian tidak memikirkan perasaan anak kalian sama sekali."

Ibu Hoseok mendengus kesal setelah berdebat panjang dengan anaknya. Ia meninggalkan ruangan Hoseok yang kembali lengang. Hoseok menelan ludah. Menatap nanar pada berkas-berkas yang sudah tak lagi menarik minatnya.

To be continued

[La Fleur]

First chapter~ how was it?
Interesting enough?

Semoga suka ya.

Love
Wella
Published : 221218 (12.58 pm)

[BOOK] La FleurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang