Bagian 1

280 17 0
                                    

"Kim Mingyu? Tunggu sebentar." Wanita itu tampak mengecek berkas yang dimilikinya. Lama mencari, ia akhirnya menemukan nama yang kutuju. Nama yang sudah setahun ini tak kudengar lagi akibat pemiliknya terjerumus ke dalam lubang hitam (untuk kesekian kali) tapi juga pertama kali buatku yang saat itu berstatus sebagai kekasihnya.

"Anda siapa dan ada urusan apa dengan beliau?" wanita itu membetulkan kacamatanya yang turun sedikit. Sinar matanya membuatku muak. Oh, ayolah, mengapa ia tak izinkan saja aku untuk masuk dan melihat keadaan kekasihku yang mungkin sudah menungguku di dalam sana? Dasar wanita tua penasaran. Bisa-bisanya manusia seperti ini diterima bekerja di lembaga semacam ini.

"Aku Hwang Mirae. Kau bisa memanggilku Mirae saja. Lalu, mengenai urusanku dengan tersangka, itu bukan urusanmu, Nyonya." Jawabku anggun. "Aku bahkan tak pernah ikut campur dalam urusan orang tua macam kalian. Mengapa sulit sekali bagi kalian untuk tak ikut campur urusan orang muda?"

Wanita itu berdeham, tampak segan. "Baiklah. Kau boleh menuju selnya sekarang." Ia memanggil seorang wanita yang tampak lebih muda untuk menunjukkan jalan padaku. "Taeri, tolong antarkan wanita ini bertemu dengan kekasihnya yang seorang kriminal."

Kedua tanganku mengepal. Wanita tua ini tampaknya minta ditonjok, ya. Memang kenapa kalau kekasihku seorang kriminal? Apakah seorang kriminal tidak pantas mendapat cinta dan perhatian yang layak? Dasar tua bangka.

"Kau putri wanita itu?" aku membuka pembicaraan dengan wanita penunjuk jalan yang umurnya kutaksir tak jauh dari umurku. "Kalau ya, tolong beritahu ibumu, ya. Itu bukan urusannya kalau aku punya kekasih seorang kriminal. Kalau ia sudah bebas nanti, ia bisa membunuh ibumu kapan saja ia mau."

Wanita itu tersenyum tanpa menghentikan langkahnya. "Bukan. Saya hanya petugas di lembaga ini dan beliau adalah senior saya. Jangan terlalu heran, beliau memang selalu seperti itu sejak putra sulungnya masuk bui."

"Oh, anaknya seorang kriminal juga?" tanyaku tanpa bisa menutupi perasaan senangku. "Apa yang terjadi dengan putra sulungnya?"

Wanita itu tampak berpikir. "Emm... entahlah. Kalau aku tak salah dengar, ia adalah bandar narkoba yang punya nama. Ia tertangkap ketika tengah bertransaksi dengan oknum polisi yang menyamar untuk membeli satu paket sabu. Yah, kau tahu apa yang terjadi selanjutnya."

Tak perlu berpikir lama juga aku tahu. Lelaki itu segera dijebloskan ke penjara karena telah menjadi bandar narkoba dan melakukan perdagangan secara ilegal. Begitulah para kriminal itu hidup. Mereka hidup dari segala sesuatu yang terbilang haram. Mereka adalah manusia yang hidup di bawah lingkaran setan yang tak berujung. Aku paham bagaimana kriminal itu bertahan hidup di dunia yang bobrok ini karena kekasihku sendiri adalah seorang kriminal yang tak kalah rusak dari kriminal manapun di dunia ini.

"Kita sudah sampai." Taeri mengantarkanku ke sebuah ruangan berukuran sedang berisi sekitar sepuluh narapidana. Ruangan ini adalah ruangan di mana para narapidana diizinkan bertemu dan berkomunikasi dengan keluarga atau orang tercinta mereka. Meski aku tahu betul fungsi dari ruangan ini, jujur saja belum pernah sekalipun kakiku menetap di sini.

"Mingyu." Aku menemukan lelaki itu tengah bermain kartu dengan salah satu narapidana. Begitu melihatku, ia segera menyudahi permainannya dan menghampiriku.

Sampai kapanpun aku tak pernah biasa dengan kehadirannya. Meski dia ini kekasihku sendiri dan kami sudah menjalani hubungan selama hampir lima tahun, atmosfer yang kurasakan ketika tubuh kami bersinggungan sungguh tak pernah bisa hilang dari ingatanku. Daripada rindu, sebetulnya aku lebih takut berhubungan dengan lelaki satu ini di belakang ayahku. Mingyu adalah satu-satunya lelaki yang berani mendekatiku sampai seperti ini tanpa keluargaku tahu.

"Aku merindukanmu." Deru nafasnya menyerbu indra pendengaranku. Kedua tangannya memelukku erat sampai kurasakan tubuhku tenggelam di dalam pelukannya. "Kenapa kau baru datang sekarang?"

Air mata yang bergumul di kelopakku akhirnya jatuh. Di saat-saat seperti ini aku selalu merasa iba. Aku dan dia sebetulnya tak ada bedanya. Kami sama-sama manusia yang memiliki hak untuk hidup layak. Tapi, mengapa harus dia?

"Maaf. Aku masih sibuk dengan jadwal kuliahku yang super padat." Kedua tanganku meraih punggungnya. Aku selalu merasakan kehangatan dari setiap pelukan yang ia berikan padaku. Aku sangat menyayangi dia tak peduli bagaimana latar belakangnya. Aku tidak pilih-pilih dalam urusan cinta. Meski ia seorang kriminal, aku bisa tahu bagaimana di sudut hatinya yang terdalam ia amat kesepian. Kalau aku jadi dia, mungkin aku sudah menggantung diriku karena tak kuasa menanggung beban hidup yang amat berat.

"Hei, sudah kubilang jangan menangis. Dasar cengeng." Ia menyadari air mataku yang menetes di bahunya. Aku terkekeh. "Bukan kekasihku kalau hobi menangis. Bagaimana bisa kekasih seorang kriminal tak tahan terhadap situasi semacam ini?"

Keluarga para narapidana mulai berdatangan. Ruangan ini mendadak jadi penuh sesak oleh sekelompok manusia yang berbaur. Yah, mungkin harus kuralat pendapatku tentang tempat ini. Sebelum aku menghadirinya sendiri, tempat ini benar-benar menakutkan dan masuk dalam blacklistku untuk tempat yang akan kukunjungi. Sesungguhnya sekarang aku memiliki candu berada di sini karena kehangatan keluarga yang saling bertemu menciptakan atmosfer yang membuatku nyaman.

"Mirae, hei. Lihat aku." Mingyu menyadarkanku dari lamunan. "Apa kau tak merindukanku sama sekali? Aku tak mendengar apa-apa dari bibirmu sejak menit pertama kita bertemu."

"Apa?" mataku terbelalak. "Setelah keluar dari sini aku harus mengantarmu ke THT sepertinya, Kim Mingyu. Telingamu mulai bermasalah." Aku terkekeh geli. Mendadak aku ingat ucapan wanita tua resepsionis penjara tadi yang membuatku ingin menusuknya.

"Mingyu, apa wanita tua di depan selalu seperti itu?" tanyaku. "Maksudku, wanita itu... ya, beliau yang di depan. Aku baru bertemu dengannya hari ini tapi tanganku sudah gatal ingin memb-"

Mingyu meletakkan telunjuknya di bibirku untuk membuatku tak melanjutkan ucapanku. "Ia selalu seperti itu. Kau, sebaiknya jangan terlalu terpengaruh ucapannya. Ia hanya shock mengenai kenyataan putra sulungnya."

Aku mengangguk. "Tapi ia bahkan menyebutmu seorang kriminal padahal putranya sendiri juga kriminal." Bibirku mengerucut tanda tak terima. Tangan besar Mingyu mengusap surai cokelatku yang kubiarkan tergerai. "Aku hanya tak suka mendengarnya menyebutmu begitu. Memang kenapa kalau kau seorang kriminal?"

Seringai tipis tersungging di bibirnya. Aku suka saat-saat di mana lelaki di hadapanku ini merasa "tertarik" dengan apa yang kuutarakan. Aku bersyukur memilikinya sebagai partner karena jika aku sendiri, aku tak tahu harus berbuat apa.

"Kalau sudah bebas nanti, aku berjanji akan membungkam mulut wanita itu." Seulas senyum penuh arti terlukis di bibir Mingyu. "Tidak dengan pisau, pistol, atau narkoba. Kau akan tahu pada saatnya. Sebelum itu terjadi, tolong jangan menerornya dulu karena itu tidak akan seru."

"Baiklah. Aku bergerak di bawah perintahmu, Kim Mingyu." Aku menepuk bahunya yang kekar.

"Ah, waktunya sudah habis." Mingyu mengakhiri basa-basi tak pentingnya. "Sering-seringlah datang kemari. Jangan mengurusi tugasmu terus. Mereka saja tak tahu diuntung sudah kau urusi. Lebih baik kau urusi aku yang jelas-jelas hidup dan akan membalas budi padamu." Ia tersenyum. "Aku akan merindukanmu, Mirae."

Sebuah kecupan singkat mendarat di bibirku tanpa kusadari karena jujur aku sedang bengong. Belum sempat membalas, lelaki itu telah digiring kembali ke selnya untuk berkumpul dengan sesama spesiesnya. Sial. Aku bahkan belum sempat mengucapkan selamat tinggal.

"Dah." Lambaian tangan serta tatapan kosongku menyertai kepergiannya. Kalau bisa, aku mau setiap hari di sini. Menginap pun boleh, asal gratis. Ah, atau kubeli saja lembaga ini, ya? Kalau begitu, kan, aku bisa membebaskannya tanpa syarat.

Aku memang gila. Aku tidak berada di latar belakang yang sama dengan lelaki ini, justru aku berada jauh di atasnya. Keluargaku tidak berantakan seperti keluarganya. Hidupku berkecukupan secara materi dan kasih sayang, tidak seperti dirinya. Aku memiliki semua yang kuinginkan di dunia ini tanpa perlu meminta sementara ia harus melakukan pekerjaan haram untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Aku hidup di istana mewah sementara ia hidup nomaden seperti gelandangan. Lalu, bagaimana bisa kami bertemu?

MY BOY IS A "CRIMINAL" [18+] : KIM MINGYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang