"Jangan takut, Papa disini."
"Laki-laki mana yang berani merampas senyum manis anak Papa, hem?"
"Boleh Papa gantikan bantal Arum sebagai penampung air mata?"
"Tidak apa-apa, Arum. Papa tidak marah."
"Papa maafkan. Jangan diulangi, ya."
"Papa juga sayang, tapi kalau Arum tidak banyak jajan. Hehehe.."
"Maafkan Papa, Arum.. Papa harus pergi.."
KRING!!!
Lamunanku buyar. Untuk kesekian kalinya, kenangan itu merenggut sadarku. Kurasakan deru napas dan degup jantung yang lebih cepat dari biasanya. Peluh mengaliri pelipis, menetes basahi secarik kertas yang luput dari perhatianku sedari tadi.
Ku lihat jam yang menggantung di dinding. Rupanya satu jam sudah aku menjadi jiwa paling resah di ruangan ini."Baiklah anak-anak," Suara tegas itu menjadi pusat perhatian.
"Tugasnya boleh diselesaikan di rumah dan dikumpulkan selambat-lambatnya besok pada jam istirahat kedua, di meja Bapak. Selamat sore." Lanjutnya.
Pria itu segera meninggalkan ruangan. Disusul siswa siswi yang sudah menantikan momen ini bahkan sejak pertama menginjakkan kaki di gedung sekolah.
Sebagian dari mereka menyapaku dan hanya mampu ku balas senyum tipis yang sepertinya tampak mengerikan. Aku tak beranjak dari tempatku. Tetap dalam posisi kaku sampai mereka semua pergi dan hanya menyisakan aku.Satu menit, ...
Tiga menit, ...
Tujuh menit.
Lengang.
Aku menundukkan kepala, lantas memejamkan mata. Sekeras mungkin berusaha melapangkan hati untuk meraih ketenangan. Tanganku meremas pena, berharap air bah dipelupuk dapat tertahan sempurna.
Tap-Tap-Tap
"Arum?"
Suara khas tersebut membuatku tersentak. Aku mendongakkan kepala lalu menatapnya dengan sendu. Sedetik kemudian, Ia menyadari apa yang telah terjadi. Seolah tahu persis apa yang harus Ia lakukan dalam situasi seperti ini, dengan raut wajah cemas Ia bergegas menghampiriku yang tidak berhasil menahan tangis. Diraihnya kursi, lantas duduk disebelahku dan meletakkan lengan kanannya diatas meja, dihadapanku.
Aku menundukkan kepala hingga keningku menyentuh lengannya yang terbalut sweater. Sedangkan tangan kirinya mulai mengelus kepalaku dengan lembut, membuatku merasa jauh lebih baik.
Aku terisak dilengannya untuk beberapa saat.
Setelah puas menumpahkan air mata, aku kembali mendongakkan kepala. Dengan sigap, ia menyeka air mataku dan mulai merapikan rambutku. Terlihat jelas raut khawatirnya yang kemudian berusaha Ia sembunyikan.
"Maaf aku terlambat, tadi piket dulu.. Kalau gak piket, nanti di denda lima ribu. Eh, sepuluh ribu! Karena minggu kemarin aku kabur, dendanya jadi dua kali lipat." Itu rentetan kalimat pertamanya sejak Ia masuk ruangan dan menemaniku menangis.
"Iya, gapapa.." Jawabku yang masih sedikit terisak.
"Mau langsung pulang?"
Aku menggeleng.
"Hem, okee."
Aku diam membiarkannya meraih tasku dan membereskan alat tulisku. Terhenti pada secarik kertas yang ternodai setitik keringatku.
"Ini tugas dari Pak Robi, ya? Buat puisi, kan?" Ia sembarang mencomot topik untuk mengubah suasana. Aku tahu itu.
Sebagai jawaban, aku mengangguk.
"Aku juga sama, disuruh buat puisi dan dikumpulin besok. Nanti kerjain bareng ya?"
Aku mengangguk lagi.
"Di rumah kamu atau di rumah aku?"
"Terserah," Suaraku terdengar parau.
"Oke, di rumah Dimdim aja."
Aku memukul lengannya. Ayolah.. Jangan bahas dia! Seolah mengerti tatapanku, Ia tersenyum jahil.
"Eh, kenapa? Dia gak bakalan nolak kok, malah mungkin kegirangan karena Yayang Arumnya berkunjung ke rumah. Hehehehe.."
Aku tersenyum geli mendengar kata 'Yayang Arum'. Sekilas informasi,
Dimdim adalah teman sekelasnya yang menyukaiku. Tapi aku tidak suka. Dimdim terlalu fanatik. Aku malah jadi takut. Apalagi, pernah suatu ketika Ia mengejarku dengan menggunakan sepeda di lapangan. Saat itu adalah jam mata pelajaran olahraga, namun gurunya tidak ada. Kebetulan, di kelas Dimdim juga tidak ada guru.
Aku ketakutan dan berteriak meminta bantuan. Tapi tidak ada yang mau menyelamatkanku. Mereka semua malah tertawa, merasa terhibur oleh penderitaanku. Bahkan ada beberapa siswa yang sengaja merekam kejadian tersebut lalu mengunggahnya ke sosial media sehingga kejadian itu diketahui oleh seluruh siswa. Satu sekolah. Memalukan sekali!"Di rumah kamu aja.." Aku menghentikan candaannya. Kalau tidak, Ia pasti terus menggodaku sampai aku kesal.
"Oke deh.."
Ia kembali duduk dan menggenggam tanganku. Menatapku, dan tersenyum manis.
Aku merasa hangat sekarang.
Dia selalu bisa menenangkanku. Menjadi cahaya dalam gelap, menemaniku dalam kesendirian, dan menjadi penyemangatku saat aku kehilangan harapan.
Dia juga satu-
satunya manusia penyelamat yang sudi menolongku dari terkaman Dimdim yang mengerikan. Bahkan sejak saat itu, Dimdim tidak berani lagi menggodaku saat Ia ada bersamaku.Dia amat berharga.
Dia adalah cinta pertamaku.
Dia lelaki yang paling ku percaya setelah mendiang Papa."Kafie.." Suaraku masih sedikit serak.
"Hem?" Sahutnya seraya membetulkan anak rambut yang menghalangi wajahku.
"Ayo pulang.." Aku berdiri dan menarik tasku.
"Ayo!" Kafie menggandeng tanganku. Membuatku merasa aman sepanjang perjalanan menuju rumah.
Terimakasih telah membaca. Sampai jumpa di chapter selanjutnya;)
KAMU SEDANG MEMBACA
Warmth
Dla nastolatków"Kumohon, jangan tinggalkan aku.. Aku tidak ingin cepat mati sebab terbunuh dingin dan sepi." pintanya lirih, nyaris tak terdengar. Nyatanya, hidup menjawab dengan serentetan kejadian yang mengikis egois. Khidmat Ia dengar apa kata peristiwa. Setela...