Hujan mengguyur sempurna pedesaan kecil itu, membuat seluruh rumput yang ada menjadi licin. Bau petrikor sudah bisa tercium meski hujan belum berakhir.
Ah ... bulan Juni. Bukankah belum saatnya hujan yang begitu deras seperti ini untuk turun? Lihatlah awannya, begitu menyedihkan. Langit kehilangan saturasi yang biasa menghiasinya, biru cerah, kini hanya abu-abu datar yang menyesakkan. Meski begitu masih ada beberapa burung hitam yang terlihat beterbangan—seakan berusaha keras memberikan semburat warna tambahan pada langit.
Tidak, burung itu tidak berhasil melakukannya. Simpati yang terlihat terlalu jelas, padahal langit tidak minta dikasihani--atau, mungkin langit berusaha terlihat demikian?
Di tepi sungai orang-orang ramai berkumpul, memegangi payung milik masing-masing sambil berdesak-desakkan. Mereka terlihat sedang mengerubungi sesuatu. Aku berjalan mendekat perlahan.
Langkahku tertahan ketika menangkap wujud yang semenjak tadi orang-orang ini kerubungi. Sebuah jasad, jasad seorang pria tepatnya. Matanya tertutup indah, bibirnya membiru dingin, rambut-rambutnya yang terkulai lemah karena hujan berusaha membingkai wajah tampannya dengan sempurna. Di samping jasadnya yang pucat, sebuah trench coat berwarna cokelat muda tergeletak, berat karena basah. Dilihat dari keadaannya yang dikotori lumpur beserta rerumputan kecil sungai, besar kemungkin bahwa pakaian itu merupakan milik jasad indah di sampingnya. Bukankah harusnya trench coat itu menutupi tubuh si Pria? Setidaknya dengan itu jasadnya tidak akan terus menerus ditatap dengan orang-orang di tepian ini.
Tetapi dari wajahnya yang sudah kehilangan ranum itu, senyuman lembut yang menenangkan terpoles sempurna. Entah karena alasan apa ia tenggelam di sungai, yang jelas ia terlihat sangat bahagia karena ajal telah menjemput.
Perlahan aku raih tangannya, menggenggamnya dengan tanganku. Dingin, namun wangi. Wangi tubuhnya seperti wangi petrikor—wangi rumput yang diguyur hujan—apa mungkin tubuh ini yang mengeluarkan wangi yang aku cium sebelumnya? Dia seperti sudah menyatu dengan rumput, menjadi bagian di dalamnya. Aku sangat menyukai wangi seperti ini.
Tiba-tiba terdengar napas tertahan dan seru-seruan dari orang-orang lain. Tubuh mereka serempak meninggalkan area itu, melupakan si jasad, dan berlari kecil penuh penasaran ke arah kanan.
Ada jasad baru. Kakek tua itu berusaha susah payah menariknya ke tepi sungai
Kali ini seorang wanita berambut indah—semakin indah karena warnanya diperpekat dengan air hujan dan air sungai. Sama seperti sebelumnya, matanya tertutup indah, bibirnya membiru, rambutnya menjuntai di rerumputan dengan sebagian masih terbenam di air sungai.
Aku berdiri, berusaha mencuri pandang terhadap jasad wanita itu. Aku sangat mengenali wajahnya, dan kimono yang dipakainya juga—malah, kimono merah yang basah itu kini sedang aku pakai pula. Bahkan hiasan rambut yang dikenakan wanita itu mirip sekali dengan jepitan bunga azalea yang tengah aku sematkan di rambut. Aku berjalan menghampirinya, namun langkahku tertahan tangan yang meraih bahuku. Aku beralih pandang, menatap siapa yang melakukan.
Pemuda yang tadi menahan bahuku itu tersenyum lembut ketika manik kami bersiobok. Maniknya cokelat dan bersinar bagaikan madu, seakan tengah menenangkan hatiku yang masih dibingungkan dengan hujan. Trench coat yang dikenakan tubuhnya tidak basah meski diguyur hujan, terlihat amat ringan. Tangannya yang sebagian dilapisi perban itu meraih tanganku, mengajakku pergi, menatapku terlebih dahulu untuk meminta persetujuan. Lengang sejenak sebari manik kami yang masih saling pandang, akhirnya aku tersenyum, mengangguk kecil. Dia tertawa pendek—namun tawa itu adalah tawa yang mengisyaratkan sebuah kebahagiaan, kurasakan tangannya kini semakin menggenggam tanganku erat. Kami pergi dari tepi sungai yang masih ramai dengan orang-orang, menuju ke aliran sungai yang menderas karena hujan.
Ketika sebagian tubuh kami telah sempurna direndam oleh air sungai, aku rasakan tangan pria di sampingku semakin hangat dan hatiku semakin tenang. Sekali lagi aku melempar pandang ke arahnya, dan dia melemparkan pandangannya pula ke arahku. Kami tersenyum bersama. Bersamaan dengan jatuhnya tetes air terbesar di hujan pada hari itu ke bumi, tubuh kami berdua meluruh kemudian bersatu dengan aliran air sungai dan rerumputan.
Sementara di tepi sungai, kakek tua telah selesai menggotong jasad si Wanita untuk diletakkan di sebelah jasad si Pria. Karena dekat, senyuman yang semula hanya terlihat samar kini terlihat semakin jelas—jasad si Wanita juga dipoles senyum yang sama tenangnya dengan jasad di sebelahnya. Entah karena alasan apa ia tenggelam di sungai, yang jelas ia terlihat sangat bahagia karena ajal telah menjemputnya pula.
Waktu itu tanggal 13 Juni, wangi petrikor di sekitar sungai tersebut agaknya lebih tajam dari biasanya.
YOU ARE READING
memorabilia. [Dazai Osamu x Reader one-shot compilation]
FanfictionMemori dengannya terasa begitu menyesakkan, meskipun itu sedih ataupun senang sekalipun--segalanya terasa menyakitkan.