15 | Him

82 9 0
                                    

Perjalanan menuju sekolah masih terbilang cukup lama karena jaraknya yang lumayan jauh. Sejak Rafa memasangkan topi pada kepala Naura, sejak itu pula Naura tenggelam dalam lamunannya. Rafa sangat manis, menurutnya.

Nggak boleh, Nau. Nggak boleh mikir macem-macem. Batin Naura terus-menerus, seakan memperingati dirinya untuk bisa menahan serta membatasi dirinya untuk tidak berfikiran terlalu jauh.

"Kok nggak turun?" Rafa sudah melepas helmnya dengan sedikit merapihkan rambutnya, lain halnya dengan Naura, ia justru baru tersadar bila ia sudah sampai di tempat tujuan, yaitu parkiran sekolah.

"Eh? Kok cepet banget," cetusnya spontan.

Hal itu tentu saja membuat Rafa berfikir yang tidak-tidak, "oh mau lama-lama berdua sama gue ya di motor?" yah mulai kan PD nya, batin Naura.

"Bukan gitu-ah percuma dijelasin juga," cibir Naura, dirinya malas berdebat dengan Rafa.

Rafa tertawa kecil, mengikuti Naura yang sudah turun dari motor. Memegangi pergelangan tangan Naura dan mengajaknya berjalan dengan beriringan. Naura tak bisa berkata apa-apa lagi, tak ada juga yang bisa ia perbuat selain mengikuti Rafa.

"Cie yang baru jadian."

"Mesra amat dah, iri gue."

"Yailah nggak heran, sama-sama cakep."

"Bakal jadi couple hits nih kayaknya."

Sepanjang jalan mereka lewati, hampir semuanya menatap Rafa dan Naura dengan tatapan mupeng alias muka pengen. Rafa terkikik geli saat mendengar umpatan-umpatan yang lebih terdengar kesal karna ia sudah memiliki Naura dan sebaliknya. Dalam keadaan seperti ini, tentu memiliki arti tersendiri bagi seorang Rafa. Dimana genggamannya memberi peringatan bahwa dirinya dan Naura memiliki ikatan dan tidak ada yang boleh menggoda atau mengambil salah satu diantaranya.

Terdengar posesif, tapi itulah adanya.

Sesampainya di kelas Naura, Rafa perlahan melepas genggamannya. "Belajar yang rajin ya, sayang."

"Apa sih, Raf. Jijik tau!" kesal Naura.

Rafa membentuk bibirnya menjadi lekungan lebar, Rafa cukup gemas dengan tingkah Naura kala ia sedang kesal.

"Yailah, pacaran nggak di depan pintu juga kali. Ganggu orang lewat!" celetuk seseorang di balik tubuh Rafa, membuat Rafa menggeser sedikit tubuhnya sekaligus melihat sosok yang baru saja berkata lancang seperti itu.

"Sensi banget, jomblo ya? Udah ketauan sih dari mukanya," ledek Rafa ketika mengetahui yang baru saja berbicara adalah Gina, yang tak lain tak bukan adalah sahabat dari kekasihnya.

"Ish!" Gina geram sendiri, karena yang diucapkan Rafa apa adanya sehingga ia tak bisa membela diri lagi.

Akhirnya Gina memilih untuk masuk ke kelas tanpa memperdulikan Naura yang sejak tadi menatapnya tanpa berkedip, Gina seakan tak mengetahui keberadaan Naura.

"Raf, kok jahat sih," ucap Naura pelan, sungguh ia tak tega melihat Gina yang merasa terhina seperti tadi.

"Jahat darimana, bener kan tapi? Berarti fakta, bukan jahat," jawab Rafa dengan gayanya yang terlampau santai.

"Tetep aja nggak boleh kayak gitu. Gina itu hatinya gampang terluka, sifat dia yang judes sengaja dia buat untuk ngelindungin hatinya yang lemah," penjelasan Naura membuat Rafa menjadi merasa bersalah.

Langsung saja ia berjalan melewati Naura dan menghampiri Gina yang sedang menopang wajah masamnya, matanya bergerak mengikuti keberadaan Rafa yang semakin mendekat ke arahnya.

"Mau apa lo?!" tanya Gina sesudah Rafa berada di samping mejanya.

"Sorry," Rafa mengulurkan tangannya ke arah Gina.

Dengan mengernyitkan keningnya, Gina menatap Rafa tak mengerti.

"Soal tadi," Rafa mencoba mengingatkan.

Gina mengerti sekarang, ia pun menjabat tangan Rafa yang sudah lama menggantung demi mendapatkan maaf darinya.

"Lain kali kalo ngomong nggak usah terlalu jujur," kesal Gina.

Rafa menanggapinya dengan senyuman, tak lama ia pun kembali menghampiri Naura.

"Gue ke kelas dulu, belajar yang bener," pamit Rafa pada Naura seraya menepuk pelan puncak kepala Naura.

Naura hanya bisa mengangguk, ia cukup tertegun dengan sikap Rafa yang langsung meminta maaf pada Gina tanpa tertahan oleh sebuah kata yang memiliki dampak yang begitu besar, gengsi. Dan Naura kembali tenggelam dengan sikap Rafa yang bisa terbilang mendekati sempurna ini, ia pun mengakui itu.

***

Rafa kembali bergabung dengan ketiga sahabatnya yang sedang sibuk bergulat dengan ponselnya. Pilihannya untuk bergabung dengan ketiga sahabatnya ini tak lain tak bukan karena mood belajarnya yang entah mengapa akhir-akhir ini sangatlah buruk. Padahal, dulu semangat belajarnya melebihi ketiga sahabatnya ini.

"Nggak belajar bos?" sindir Tito.

"Nggak usah basa-basi, udah basi lo," sambung Karel.

"Sirik banget si cabe."

"Sejak kapan lo manggil Karel cabe?" tanya Rafa tiba-tiba.

"Sejak tadi pagi, karena dia suka makan cabe. Gila aja nih Raf, tadi pagi, gue sama Brian sarapan bubur nah dia sarapan mie ramen. Nih otaknya udah kebakar kali ya, heran gue," Tito menghentikan kegiatan bermain game nya demi menceritakan kejadian gila tadi pagi.

"Biasa aja sih, perut gue udah kebal," jawab Karel dengan wajah sombong.

"Dikit lagi juga bocor," balas Brian.

"Gue juga ngira gitu si, Yan," balas Tito lagi.

"Eh iya gue sampe lupa, Raf lo tadi dicariin sama adek kelas tuh," ucap Karel tiba-tiba.

Rafa tak menunjukkan reaksi apapun, ia cukup sibuk dengan game di dalam ponselnya. Hingga akhirnya Karel melanjutkan ucapannya.

"Adek kelas yang waktu itu kena sama lo di koridor."

FAKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang