Syarat

7.8K 611 54
                                    

Kartika harus bertahan.

Ia harus terus bertahan meskipun terpojok dengan pandangan-pandangan penuh rasa ingin tahu dan curiga dari lingkungan sekitarnya.

Semua demi Bima. Sampai saat kelulusannya datang.

Di awal situasi yang menyesakkan itu, Kartika sudah hampir menyerah meskipun ia sendiri sakit hati. Ia berusaha menjauhi Bima. Tapi hasilnya membuat keluarga nenek Marti pusing kepala.

Bima sempat menghilang seminggu. Ia memang ditemukan tiga hari kemudian meringkuk di salah rumah nenek Marti di sebuah perumahan kuno di Palembang. Ia berkeliaran sekehendak hati lalu pulang meringkuk dalam diam.

Nyonya Nararya sampai harus datang untuk membujuknya pulang dan sekolah lagi di rumah sang nenek.

"Nanti saja, Ma. Kalau aku sudah bisa tenang. Sekarang belum." Hampir selalu seperti itu jawabnya setelah berkali kali dijemput.

Kartika yang jelas ikut resah. Ia ingin mengakui kalau hatinya juga sudah tidak karuan memikirkan keberadaan dan keadaan Bima. Ia rindu pada si bengal itu.

Ia terkejut ketika Ibu dan nenek Marti mendatangi rumahnya siang itu. Mereka sudah putus asa membujuk Bima, tinggal Kartika yang jadi tumpuan.

"Saya tahu ini berat untukmu, Tika," kata ibu Bima. "Saya bisa bayangkan semua pandangan buruk masyarakat terhadapmu meskipun itu salah Bima."

Kartika memandang Nyonya Nararya ragu. "Saya juga salah, Bu. Saya membiarkan diri ikut terhanyut."

Ibu Bima menggeleng. "Kamu pasti mengalami banyak kesulitan karena Bima. Tapi Ibu minta tolong..." Mata wanita itu berkaca-kaca.

Nenek Marti mengelus punggung putri tunggalnya. "Kamu pasti bisa membujuk Bima untuk kembali."

Kartika bergantian memandang wajah kedua wanita di hadapannya. Ia tak tega melihat ibu Bima sampai meneteskan air mata.

"Ibu tahu konsekuensinya bagimu," sambung ibu Bima. "Dan Ibu tidak tahu apakah kamu sanggup bertahan... Ibu ingin melihatnya lulus."

Kartika paham. Ia menatap kedua orangtuanya minta persetujuan. Mereka juga akan terkena akibatnya.

"Adi, aku minta maaf, kepadamu juga Wanti, kalian juga pasti kena dampak ini semua kalau Kartika setuju," kata nenek Marti kepada kedua orang tua Kartika.

"Semua terserah Tika, Bu," kata Pak Adi. "Kami akan baik-baik saja."

Mendengar kalimat ayahnya, Kartika seperti mendapat kekuatan untuk melangkah. "Baiklah, Bu. Saya bersedia. Demi Bima."

Sore harinya Pak Firman mengantar Kartika ke Palembang. Kepada Bima.

Penjaga rumah yang membuka pintu. Bima belum pulang berkeliaran. Menjelang tengah malam, Bima muncul.

Rambut kusut masai dan mata cekung kurang tidur.

Ia terkejut melihat Kartika yang tertidur di sofa ruang tamu. Seperti mimpi melihat wanita yang memenuhi pikirannya ada di depan mata.

Ia berjongkok di depan Kartika, mengamatinya tidur. Lihat, wajah manismu yang sangat damai ini. Aku ingin melihatnya untuk selamanya. Tapi kenapa dunia menentang ?

Bima mengelus rambut Kartika lembut yang membuat gadis itu terbangun.

"Bima...." Kartika memandang tak percaya betapa berantakannya diri Bima. Tanpa terasa ia meneteskan air mata.

Bima langsung panik. "Hei, sudah. Jangan menangis. Iya, aku brengsek. Aku pengecut yang tak bisa menghadapi masalah. Maafkan aku, Kartika. Maaf...."

The Teacher and The HeirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang