Bagian 3 - Palsu

11 0 0
                                    

"Bergeraklah, Ryan Febrian..." Ryan menggigit bibirnya, berusaha untuk menggerakan tubuhnya yang tengah terkaget akibat tinju kencangnya tadi.

Namun, perbuatan tidaklah semudah perkataan. Tubuhnya masih mematung gemetar. Ryan mengernyit. Apa yang harus ia lakukan dalam situasi hidup atau mati seperti ini?

Pedang yang sedaritadi diam itu mulai terangkat oleh tangan sang Kesatria. Pedang yang ukurannya hampir setubuh Ryan itu dengan ringannya diayunkan oleh Kesatria.

Secara refleks, Ryan meringkuk ke kanan, menghindari sayatan pedang sang Kesatria. Ia merapal mantra dan menembakkan dua buah peluru yang terbuat dari energi esensi. Namun, seperti halnya tembakan pertama yang tadi ia luncurkan, kedua peluru tersebut memantul.

Jika itu pedang biasa, mungkin permukaannya sudah hangus—bahkan patah—tapi tidak keduanya terjadi.

Ada dua kesimpulan yang bisa ditarik dari peristiwa ini: pertama, itu adalah pedang yang diinfus oleh energi esensi. Dan yang kedua, pedang tersebut terbuat dari energi esensi.

Apapun itu, situasi tidak merubah kalau Ryan sedang berada di posisi yang sangat menyialkan.

Kalau saja ia tidak menghabiskan sebagian besar energi esensinya dalam memfokuskan bola-bola yang kini telah dilenyapkan, mungkin dia dapat menghancurkan pedang tersebut. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Yang harus ia lakukan adalah berusaha agar tidak menjadi daging cincang.

Ryan menghela napas.

Jika lawanmu membawa pedang, yang harus kau lakukan adalah melawannya dengan pedang.

Ia mengangkat tangan kanannya ke udara, lamat-lamat cahaya putih bersinar di telapak tangannya, membentuk pedang yang terlihat seperti sebuah katana.

Ryan mengetahui probabilitasnya untuk kalah dalam pertarungan ini adalah 99%, namun selama masih ada 1% yang tersisa, ia takkan menyerah. Itulah sifat seorang Ryan Febrian.

"Kemarilah, Kesatria Putih!" seraya menyeringai, Ryan memprovokasi orang berbaju zirah di depannya.

Tidak ada pertukaran kata dari orang tersebut, hanya suara desis yang menggema dari dalam helm. Kendati demikian, orang itu tetap melaju dengan kecepatan penuh kepada Ryan.

Ketika pedang mereka beradu, sudah jelas terlihat siapa yang memegang keuntungan. Ryan dengan napas tersengal berusaha menahan agar pedang sihir miliknya tidak hancur sementara sang Kesatria membabat habis perlindungannya.

Dalam hitungan detik peraduan pedang mereka, energi esensi milik Ryan sudah tidak kuat menjelma menjadi pedang, perlahan pedang itu menghilang dari tangannya.

Sang Kesatria mendesis dan meninju Ryan hingga terpental jatuh. Lalu mengangkat pedangnya tinggi-tinggi bak ingin menyayat lelaki itu.

Inikah akhirnya?

Belum sempat sang Kesatria menurunkan pedangnya, hantaman yang sangat kencang menerpa dirinya, membuat sang Kesatria terjatuh mundur beberapa langkah.

***

"Ampun, deh. Kalau mengirim pesan itu yang jelas! hampir saja aku mengabaikan pesan yang sangat singkatmu itu,"

Dari kejauhan, seorang perempuan dengan nama Cicilia berjalan dengan santai seraya mengangkat beberapa tong sampah di belakangnya.

Perempuan itu mengabaikan sang Kesatria yang mungkin sedang tak sadarkan diri dan berjalan terus ke arah Ryan, "Untung aku melihat UP." Cicilia menatap Ryan dengan tajam, lalu menghela napasnya. "Kamu tetap disitu. Biar aku yang mengurus sisanya,"

Penyihir 115Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang