One Shoot

394 38 53
                                    

Saat suamiku mati, aku tidak bisa menguburnya sembarangan, dikarenakan jika menguburnya harus mengeluarkan biaya yang banyak untuk acara pemakamannya. Ya, begitulah adat di pedalaman ini. Mau tidak mau harus diikuti.

Setelah beberapa hari kematian suamiku, ada seorang laki-laki paruh baya menghampiri rumahku di tengah pedalaman. Dia kelihatan asing bagiku. Dia memasuki rumahku dengan tenang. Dan dia langsung duduk santai di ruang tamuku.

"Tinggal sendirian?" tanya lelaki paruh baya itu membelakangiku.

"Tidak,"

"Suamimu dimana?" tanya nya lagi sambil melepaskan topi usangnya.

"Ada,"

"Yang duduk di pojok itu?"

Aku diam saja tanpa menjawab pertanyaannya. Aku bingung harus menjawab apa.

"Sudah berapa lama? Pasti sulit sekali melihatnya tanpa menguburnya sama sekali," sambung lelaki paruh baya itu. Aku tetap diam tak menjawab pertanyaannya.

"Hewan ternak mu banyak bukan?" tanya lelaki paruh baya itu lagi.

"Iya," jawabku seadanya.

"Bagus kalau begitu." Lelaki paruh baya itu mengangguk-angguk sambil menepuk nepuk lantai.

Aku diam saja tak merespon ucapannya barusan.

"Buatkan aku teh. Kalau tidak ada teh, buatkan kopi saja," perintah lelaki paruh baya itu sambil berjalan mengitari ruang tamuku.

"Teh tidak ada, yang ada hanya kopi," jawabku tetap tenang. Sebisa mungkin aku menjawab pertanyaannya dengan tenang.

"Bagus, buatkan lah untukku."

"Tunggu sebentar," ucapku pelan. Aku langsung berdiri dan berjalan ke dapur. Kututup tirai pintu dapur.

Di dalam dapur aku ketakutan setengah mati. Karena apa? Karena kurasa lelaki paruh baya itu mau mencuri hewan ternakku yang banyak.

Aku membuatkan kopi hitam itu dengan cepat. Setelah selesai membuatnya aku menaruh gelas itu di meja dengan tangan yang gemetaran. Dia melirik ke arah tanganku yang gemetaran.

"Kenapa gemetar? Takut? Ayo duduk di sebelahku," ajak lelaki paruh baya itu tanpa dosa.

Aku memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh lagi. "Mau apalagi?"

Dia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdehem. Lalu dia menegakkan kepalanya kembali dan membelai-belai kumis hitam tebalnya itu sambil melirik ke arahku.

"Buatkan masakan malam. Teman-temanku akan kesini sebentar lagi untuk mengambil ternakmu. Masak lah cepat," perintah lelaki paruh baya itu padaku. Dia melanjutkan lagi meminum kopi hitamnya menghirup napas perlahan-lahan. Aku hanya melongo saja melihatnya.

"Untuk apa kau melihatiku saja? Cepat lah buat, sudah hampir malam ini. Ah iya, masak lah soto saja."

Aku gelagapan saat ketahuan melihatinya saja. Aku mengangguk-angguk kaku dan berkata, "Ah iya, tunggu sebentar."

Aku setengah berlari untuk ke dapur, dan menutup tirai dapur lagi. Di dalam dapur aku mondar-mandir bagaimana caranya menyelamatkan diri tanpa membahayakan nyawaku sendiri.

Tiba-tiba saja pikiranku teringat akan pesan dari almarhum suamiku. Dia memberiku 7 buah kecil tapi bisa membuat orang keracunan jika memakannya. Ah iya, aku campurkan saja buah kecil itu di dalam masakan soto buat orang-orang itu.

Saat aku memasak, aku mendengar ada bunyi mobil truk dan bunyi dua motor. Dari sana, masuk lah 4 orang saja ke dalam rumahku. Mereka ber-empat bercengkrama dan tertawa riuh di ruang tamuku. Berisik sekali, pikirku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 16, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Brave WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang