"Hai, kamu kan yang mau kenalan sama aku?" Perempuan bertubuh mungil itu membuka bilik warnet untuk menghampiri seseorang disana. "Kenalin, Gloria. Senyum lebar di wajah mungilnya itu merekah, menunggu sebuah sambutan. Namun, yang Gloria terima adalah tatapan mentah, jauh dari kesan ramah.
"Ih, Abang bilang dia mau kenalan sama aku, kok ketus gitu?" Kesah Gloris kepada Jefry, orang yang bermaksud memperkenalkan Gloria dan si orang sombong itu.
"Iya, aku tahu kok nama kamu Gloria." Tiba – tiba saja orang itu menyambung pertanyaan Gloria kepada Jefry. Antara senang dan kesal, Gloria memutarkan kepalanya kea rah orang itu
"Hehehe, uda tahu rupanya, kalau kamu siapa namanya?"
"Nanti juga kamu tahu sendiri siapa nama saya." masih dengan nada yang terdengar arogan, laki – laki itu menjawab. 'Idihhhhh, ngeselin banget nih cowok, sombongnya bukan main.' Gerutu Gloria dalam hati.
Gloria kembali ke biliknya yang berada di sebrang bilik si laki – laki misterius. Gloria terduduk dihadapan komputernya, sembari mengingat kembali wajah laki – laki tanpa nama itu. Perasan gadis mungil ini tidak mungkin berbohong. Laki – laki itu, meskipun bergaya setinggi langit di hadapan Gloria, sungguh – sungguh memikat hatinya dalam pertemuan pertama mereka tadi. Laki – laki yang merahasiakan namanya itu memiliki struktur tulang pipi yang tajam dan menonjol, membuatnya kelihatan kelihatan tegas. Wajah yang cuek terpancar dengan indah di matanya yang terlihat segaris pada masing – masing bagiannya. Gloria memang masih tidak percaya jika si laki – laki misterius ini yang ingin berkenalan dengannya duluan, seperti yang diakui oleh Jefry kepadanya. Untuk ukuran pria kebanyakan, si misterius ini cukup memenuhi kriteria Gloria secara fisik. Tidak terlalu tinggi, kurus, kulit sawo matang, senyum lebar, mata sipit, Gloria sedikit bergedik dan tersenyum senang memikirkan sturktur wajah si misterius, yang sebenarnya belum terlalu bisa tergambar dengan jelas di pikirannya.
Ting...Tong.... "Jangan lupa kirim file-nya ke aku, keburu malem – Pevita". Membaca pesan yang masuk itu, Gloria buru – buru menyelesikan sisa pekerjaan nya yang masih terpampang di komputernya, hampir saja dia tinggalkan karena sibuk dengan bayangan yang muncul dibenaknya itu. Gloria cepat – cepat mengetik beberapa bagian yang belum terselesaikan, berharap Pevita tidak menunggu terlalu lama. 'Tunggu bentar ya beb, bentar lagi ku kirim. 10 menit.' Gloria memutuskan membalas pesan dari Pevita supaya dia tidak merasa menunggu tanpa kepastian. Sepuluh menit lebih dua, atau lebih enaknya di katakana dua belas menit kemudian Gloria mengirimkan tugasnya itu via e-mail kepada Pevita dan mengirim lagi pesan konfirmasi kepada Pevita, memastikan kalua Pevita sudah menerima e-mail darinya. 'Udah aku kirim Pev, cobae check.' Tulisnya.
"Hmm, udah pada beres, ngapain ya enaknya?" tanpa arahan Glroia memandangi layar komputernya dan memutuskan untuk membuka halaman twitter yang sudah lama sekali tidak dia sentuh. Tidak banyak yang berubah, warna burung di twitter itu masih biru, tidak berubah jadi kuning seperti burung di kartun Tweety. "Mungkin bakal lebih lucu ya kalau warnanya kuning, lebih cerah gitu lihatnya" Gloria bergumam menanggapi pikirannya sendiri.
"Dekk......." Dari luar bilik Gloria mendengar suara Jefry seperti memanggilnya. Betul saja, tanpa lama dan permisi Jefry membuka tutup bilik milik Gloria "Ba! Hehehe. Eh, tukeran bilik dong. Kamu sama si Richard. Aku disini sama Aurel."
"Richard? Siapa?"
"Lah....itu yang tadi kenalan." Dengan mengangkat alis Gloria mengerti, 'oohhhh, namanya Richard.' Pikirnya. "Dek..woyy..ayo buruan, aku harus buru – buru selesaiin tugasnya ini."
"Ehh, iya..iya..sabar dikit kenapa sih, Bang?" Tak lama Gloria mengemas barangnya dan memindahkan dirinya ke bilik dimana ada Richard disitu.
Richard seperti tidak menggubris kedatangan Gloria disitu, dia terlihat asyik menatap layar komputernya seperti tidak berkedip. Oh, mungkin berkedip tapi karena dia terlalu sipit Gloria tidak memperhatikan kalau Richard sedang berkedip. Di telinganya terpasang headset. Dia memakai kemeja kotak – kotak berwarna biru tua cenderung ungu. Ada tiga gelang ditangan kirinya. Di sebelah kanan tubuhnya ada tas berwarna hitam garis merah. Di ambang pintu itu, Gloria memperhatikan penampilan Richard dan masih ragu apakah dia benar – benar harus masuk. Dia malu, lebih tepatnya takut kalau Richard akan merasa keberatan atau justru lebih parah, mengusirnya? Gloria terlalu banyak berpikir diambang pintu bilik. Richard yang sadar langsung mengalihkan arah bola matanya kearah Gloria.
YOU ARE READING
Walking the Tightrope
RomanceGloria tidak pernah menyangka orang yang dia kagumi sejak SMP tidak akan menjadi cinta petamanya. Cinta pertama yang Gloria rasakan justru kepada laki - laki yang jauh dari kata 'tepat' bagi dirinya, oleh teman terdekatnya, bahkan keluarganya. Glo...