Chapter 19 - Menggores luka.

1.1K 40 2
                                    

Mama: Pulang.

Mama tidak pernah mengirim atau menelponku, apalagi menyuruh pulang. Dia sama sekali tidak pernah peduli dan masa bodo dengan keberadaan anaknya.

Seharusnya aku senang, tapi aku justru bingung dan menebak-nebak makna di balik kata 'pulang'. Pertama, dia menyuruhku pulang karena ada Evarado. Kedua, Evarado kembali membuat keributan dan menyuruh mama meminta surat tanah dariku. Ketiga, mama ingin melampiaskan kemarahannya padaku. Keempat, mama ingin kembali membunuhku. Dan kelima, mama memang rindu padaku.

Hah, rindu? Aku mendengus geli. Sejak kapan mama rindu padaku? Kalau mama rindu, sudah dari dulu membujukku untuk segera pulang. Mungkin saja mama rindu untuk memukulku. Iya, aku sangat yakin.

Dengan sangat malas, aku berjalan keluar dari tempat tongkrongan dan melajukan motorku ke rumah, menuruti seperti apa yang mama bilang, yaitu pulang.

-0-

Begitu sampai aku segera membuka pintu rumah, dan langkahku langsung berhenti di depan pintu saat melihat keadaan rumah yang tidak seperti biasanya. Saat sesekali aku datang ke rumah untuk mengambil pakaian, rumah ini selalu berantakan, barang-barang tidak pernah di taruh di tempatnya, dan mama selalu menangis di pojokan.

Aku heran sekaligus curiga dengan keadaan rumah yang sangat rapi. Apa rumah ini akan di jual? Atau memang sudah di jual?

"Sini, masuk."

Aku mengalihkan pandanganku ke arah mama yang sedang berdiri di depan pintu dapur, yang dimana masih memakai apron.

"Cepat sini." perintahnya

Meskipun masih bingung, aku melangkah mendekati mama. Saat masuk ke dapur, mama kembali membuatku terheran-heran. Aku menatap banyak hidangan yang disajikan di atas meja makan. Semuanya adalah makanan kesukaanku, salah satunya telur ceplok. Aku lantas menatap mama dan makanan bergantian, mama yang memasak ini semua? Memang ada acara apa? Ulang tahunku sudah lewat, dan seingatku ulang tahun mama masih lama. Atau mungkin ada arisan di rumah ini?

Mama melepas apronnya lalu duduk di kursi, dan setelah itu menatapku. "Kenapa masih berdiri? Ayo duduk, hargai saya yang sudah capek memasak semua makanan ini." ucap mama

Aku mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya duduk dihadapan mama. Aku tidak mengerti dengan semua ini, ini seperti bukan mama yang biasanya memarahiku.

Mama mengambil piring lalu menaruh nasi beserta lauk dan menyerahkannya padaku, dan setelah itu dia mengambil bagian untuk dirinya.

"Makan." perintahnya tanpa melihatku

Aku diam, mataku hanya tertuju pada makanan yang ada dihadapanku. Kenapa mama bersikap seperti ini? Apa mama sudah berubah menjadi seperti mama yang mencintaiku?

"Ayo cepat di makan, keburu dingin."

Aku menatap mama sekilas lalu mengangguk. Dengan tangan yang gemetar, aku mulai memakan makananku dengan lahap. Ingatanku tertuju pada beberapa tahun yang lalu, tahun dimana mama masih perhatian kepadaku. Mama yang selalu menyiapkan makan, mama yang selalu bertanya kabar, mama yang khawatir anaknya pulang larut malam, mama yang selalu menampilkan senyum hangatnya kepadaku untuk memberi semangat, mama yang selalu merentangkan tangannya untuk memelukku ketika berangkat atau pulang sekolah.

Semua kenangan itu, terekam manis dalam ingatanku. Terlalu manis sampai aku tidak bisa untuk melupakannya. Semua kenangan itu, membuat dadaku terasa sesak. Aku tidak mau munafik kalau aku merindukan itu semua. Merindukan masakan mama yang selalu membuatku menambah porsi.

Air mataku jatuh tanpa bisa kucegah. Selama ini aku hidup tidak tau arah. Selama ini aku makan juga dengan seadanya dan tidur dimanapun selama masih layak. Mama tidak pernah menyuruhku pulang, mama tidak pernah khawatir dan mencari diriku. Terserah mau anaknya jadi gembel atau mati, dia tidak pernah mau tau.

AZURATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang