Bima lulus.
Nenek Marti langsung mengadakan acara syukuran sekaligus perpisahan. Bima akan kembali kuliah ke Jakarta dan ia juga akan memulai karir basketnya di tingkat yang lebih profesional. Ia sudah mendapat tawaran dari beberapa klub.
Hanya satu yang sangat berat untuk ditinggalkannya. Kartika.
Ia sudah berusaha membujuk gadis itu untuk ikut pindah ke Jakarta dengan jaminan orangtuanya pasti dapat mencarikan tempat mengajar yang baru.
Tapi Kartika menolak, dengan segala galau dan alasan yang disimpannya sendiri. Ia menolak dengan kesadaran penuh bahwa jalan hidup Bima masih penuh dengan segala kemungkinan dimana dia tak boleh ada untuk apapun itu.
Berkali-kali pula Bima meyakinkannya untuk mau menunggunya beberapa tahun lagi, dan ia sangat serius mengucapkannya.
Kartika sadar ia sudah sangat mencintai Bima, sangat dalam. Tapi ia juga sadar inilah saat yang tepat untuk berhenti. Melepaskan Bima untuk mengalami hal-hal normal sebagai mahasiswa baru yang bebas dan lepas, bergaul dengan gadis-gadis seusianya.
Kartika menarik napas panjang. "Ini tidak akan mudah, tapi aku akan kuat."
Nenek mengundang para karyawan dan teman-teman Bima. Kedua orangtua Bima sudah datang dua hari sebelumnya.
Bima langsung antusias memperkenalkan Kartika pada sang ayah. "Gimana ? Papa suka ? Kalau Mama sih sudah pernah ketemu dan pasti suka."
"Yang jadi masalah, Kartika suka tidak menghadapi anak bandel model kamu," bisik sang ayah sambil tersenyum.
Kartika hanya bisa memaksakan diri untuk tersenyum.
Andre juga datang ke acara itu.
"Kenapa pula manajer konyol itu datang di acara ini ? Nenek kali ini kurang kerjaan pakai mengundang dia," bisik Bima pada Kartika.
Di tengah acara, mendadak Andre meminta perhatian dengan bicara di tengah-tengah keramaian. Semua yang hadir mulai diam, memperhatikan.
"Maaf, maaf beribu maaf sebelumnya. Saya tahu ini acara untuk Bima kita yang berhasil lulus SMA, tapi... sekalian saja, mumpung banyak yang hadir hari ini."
Tiba-tiba saja Kartika merasa mual.
Bima yang berdiri di sampingnya terdiam.
"Bu Marti, Bapak dan Ibu Adi, juga Bapak dan Ibu Matanya, dengan segala hormat.... Saya minta izin segera meresmikan hubungan saya dengan Kartika."
Andre mendekati Kartika dan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya, lalu mengeluarkan sebuah cincin bermata berlian.
Rasa mual dalam perut Kartika semakin menjadi-jadi. Rongga telinganya hanya bisa mendengar suara Andre yang mendadak sekencang loudspeaker.
"Kartika, maukah kamu menikah denganku ?" Andre berlutut.
Semua yang hadir terdiam lalu dipicu satu dua orang yang berteriak "Terima ! Terima !" hadirin yang lain ikut bersuara sama.
Bima tersenyum penuh kemenangan. Ia merasa inilah saat kejatuhan buat Andre, saat yang dipilihnya sendiri. Ia yakin Kartika akan membuat pria pengganggu itu terpuruk malu.
Ayo, Kartika. Ayo. Selesaikan semua kebohongan ini, teriak Bima dalam hati.
"Kartika ?" tanya Andre lagi.
Kartika menatapnya lurus.
Ini dia ! Bima ingin bersorak. Katakan tidak, Kartika !
"Ya, aku bersedia..."
Sorak sorai langsung memenuhi halaman dan rumah nenek Marti. Mereka langsung menghambur berebutan memberi ucapan selamat pada Kartika dan Andre.
Bima mematung di tempatnya, memegang kaleng softdrink yang hampir habis isinya. Ia menuangkan kaleng itu ke mulutnya dengan pandangan kosong. Satu teguk kecil masuk ke mulutnya. Rasanya seperti racun syaraf yang dengan cepat melumpuhkan semua neuron dalam otak logisnya.
Ia menuangkan lagi kaleng itu ke mulutnya. Ia ingin merasakan lagi beberapa tetes racun yang bisa mematikan seluruh syaraf dalam tubuhnya. Tapi tanpa hasil. Kaleng itu sudah kosong. Seperti hatinya.
Bima berjalan seperti bayangan dalam keramaian. Matanya tak berkedip sementara kakinya terus melangkah pergi menjauhi kekacauan itu.
Orangtua dan Nenek Bima hanya bisa melihatnya berjalan menjauh seperti zombie. Ibu Bima akan mendekati anaknya, tapi dicegah oleh nenek Marti. "Biarkan dulu."
Orangtua Kartika pun ikut khawatir melihat ekspresi Bima yang kaku. Tapi nenek Marti memberi mereka kode untuk terus melanjutkan kegembiraan baru itu.
Tidak ada yang menyangka akan muncul bagian ini.
Kegembiraan bagi banyak orang, tapi bagi kedua keluarga itu, kekhawatiran. Bima pernah menghilang seminggu karena Kartika menjauhinya. Mereka tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.
Nenek Marti sendiri yang menyusul Bima ke kamarnya di lantai atas. Ia mendapati cucunya itu duduk diam menatap jauh ke pepohonan di luar, ke arah pemandangan yang sunyi.
"Bim...."
Bima menoleh. Binar semangat yang selalu dilihat sang nenek di mata cucunya selama ini telah lenyap. Kekecewaan yang menggores hatinya tampak jelas di wajahnya.
"Aku tidak apa-apa, Nek."
"Maaf, Nenek juga tidak tahu kalau Andre punya rencana seperti ini."
"Nenek, aku tidak apa-apa. Aku tidak akan kabur atau menghilang. Aku masih akan pulang ke Jakarta dan meneruskan hidup. Nenek jangan khawatir." Suara Bima sangat datar, nyaris tak bernyawa.
Sang nenek mengangguk dan meninggalkannya sendiri.
Diletakkannya kaleng softdrink kosong di meja. Ia memandanginya tanpa bisa mengeja tulisan-tulisan yang tertera di situ.
Ia berdiri di ambang jendela.
Pohon-pohon sialan ! Angin penyihir ! Awan-awan tipuan ! Langit brengsek ! Ia mengutuki pemandangan di luar yang dilihatnya.
Sebutir air mata jatuh di sudut matanya. Ia mengusapnya dengan cepat. Dadanya sesak. Kartikaaaa....
Ia bangkit dan menarik keluar kopernya. Ia membuka lemari dan mulai menjejalkan pakaiannya.
<<<<<<<<>>>>>>>
Hai, stargazers.
Bima.....
Kartika......
Tapi jangan marah-marah dulu yaakk ? Ini cerita baru separo jalan....
See you soon
Deningcaya
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher and The Heir
General Fiction(COMPLETED) Bima, yang tak terkontrol lagi kehidupannya, diungsikan orangtua ke kampung halaman neneknya. Di situ ia harus menuntaskan SMA jika masih ingin diakui sebagai pewaris tunggal keluarga. Merasa paling segalanya, ia terus berulah di sekolah...