Delapan: Mandrika

3.2K 227 10
                                    



Meja makan yang biasa digunakan untuk saling bercengkrama dengan perbincangan ringan dan menyenangkan di rumah Abah Ahmad itu, kali ini terasa berbeda. Obrolan serius antara Abah dan Ali, membuat suasana meja makan terasa menegangkan. Begitu pun dengan Ali yang berkali-kali berusaha menghela nafas, menetralkan segala rasa kecamuk dalam hatinya.

Mata obsidian hitamnya terlihat meredup akibat penuh kebingungan. Otaknya berusaha menyatukan semua kejadian yang baru saja diceritakan oleh Abah. Ia menautkan jari-jemarinya di atas meja, setelah semua cerita Abah berhenti mengalir. Mereka bertiga terdiam.

"Jadi, Shifa itu masih bersaudara dengan Rio?"

"Ya, Abah juga kaget waktu abinya Shifa dipanggil paman sama Rio."

"Tapi, kenapa harus dengan Ibrahim suaminya Patricia, Bah?" tanya Ali.

Otaknya juga tak habis pikir jika Patricia berasal dari keluarga Mandrika. Keluarga pemilik korporasi besar yang beberapa saat lalu mengajukan kerja sama dengan perusahaannya. Ia tak mengerti kenapa dunia begitu sempit, hingga semua orang terasa terhubung dengan erat. Meski, ia sadar bahwa semua orang di dunia ini adalah saudaranya. Se-Adam dan se-Hawa.

"Sebelum Rio datang, ternyata abinya Shifa menemukan CV Shifa. Sepertinya itu proposal nikah."

"Proposal nikah?"

Abah menatap Ali dan mengangguk. "Dan itu untuk Ibrahim."

Ummi sedari tadi hanya terdiam menyimak pembicaraan Abah dan Ali, yang sebenarnya sudah ia terima penjelasannya sehari lalu. Ia menatap menantunya dan suaminya bergantian. Sembari sesekali mengusap punggung tangan Abah yang terasa semakin penuh kerutan. Begitu pun ia.

"Ya, manusia memang diciptakan bersifat tergesa-tergesa. Selalu terburu dalam segala sesuatu. Abinya Shifa langsung memutuskan untuk menikahkan Shifa dengan Ibrahim, yang notabenenya masih tetap saudara dengan Shifa karena umminya Shifa itu sepupunya Patricia."

"Nama anak Patricia juga, Ibrahim, kan?" sela Ummi Fatimmah. Pertanyaan itu entah kenapa terlintas begitu saja dalam benaknya, lalu terlontar keluar dari bibirnya. Abah dan Ali mengangguk bersamaan.

Sementara otak Ali, dengan cepat mengingat sebuah nama Ibrahim pula yang dimiliki seorang pria. Lagi dan lagi, ia berdecak ketika mengingat kenyataan kecemburuannya terhadap pria yang pernah dikagumi oleh Maira-nya itu. Nafasnya terembus pelan kembali dengan mata sayu yang sebenarnya enggan untuk ia tampakan. Tetapi, ekspresi itu muncul begitu saja setiap saat ia tanpa sengaja mencemburui pria itu.

"Maira tidak lagi menaruh hati pada pria itu Ali. Tenang saja."

Ali mendongak menatap Abah yang tersenyum penuh kelembutan, tetapi nada bicaranya penuh ketegasan. Sebagai sesama pria, Ali tahu bahwa Abah tengah meyakinkan dirinya. Lalu sebagai suami, ia pun tahu bahwa ucapan itu bukanlah sebuah kebohongan dari Abah. Ia cukup tahu, bahwa Maira mencintainya. Bukan lagi pria dari masa lalu itu.

Senyum terbit di bibir Ali, ia menatap Abah dan Ummi. Kemudian mengangguk. "Ali tahu, Bah."

Abah menenggak kembali air minumnya, kemudian menatap istrinya sembari mengusap dengan lembut kepala Ummi. "Ya, sudah, ayo kita siap-siap ke musala. Sudah mau Dhuhur."

"Ali bangunkan Maira dulu, Bah."

"Biar Ummi saja yang bangunkan, kamu sama Abah siap-siap ke musala saja."

Ali mengangguk-anggukkan kepala kemudian tersenyum kepada Ummi. "Terima kasih, Ummi. Tapi, Ali saja yang bangunkan." Kedua orang tua Maira itu terkekeh kecil sembari menggeleng-gelengkan kepala. Mereka pun tahu jika menantunya itu sangat mencintai putrinya.

Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang