...
Sebuah mobil hitam bergaya klasik berhenti di depan sebuah rumah. Pintu terbuka dan Marvin berjalan memutar untuk membukakan pintu satunya. Sepasang tangan terulur menyambut Marvin. Setelah menutup pintu Marvin sempat membisik kan sesuatu.
"Dalam hitungan ketiga, kau bisa membuka matamu."
"Satu..."
"Dua..."
"Ku harap kau akan menyukainya." Marvin menghembuskan napas pelan untuk menghilangkan kegugupannya.
"Tiga..."
Secara perlahan kelopak mata yang tadi tertutup sedikit demi sedikit memerlihatkan netra birunya. Matanya berbinar menatap lurus ke depan tepatnya kesebuah bangunan sederhana yang masih berdiri kokoh. Marvin membawa Sherena membelah semak-semak belukar yang tidak terlalu tinggi. Saat Sherena melewati semak-semak itu ia terpana mendapati cahaya matahari mulai menembus diantara pepohonan rindang, cahayanya lebih terang dan berwarna kekuningan.
Semakin jauh mereka melangkah, Sherena semakin terpesona saat mendapati rumah kayu sederhana di ujung sana. Rumah yang menjadi saksi saat Marvin menjadikan Sherena sebagai teman hidupnya sekaligus akan mereka tempati nanti. Bunga-bunga serta tumbuhan liar bergoyang tertiup angin yang terasa hangat di kulit. Marvin melepaskan genggaman tangannya, membiarkan Sherena agar lebih leluasa melihat tempat tersebut.
"Marvin." Sherena tersenyum lebar, matanya tertutup menikmati angin yang menerbangkan rambut cokelatnya.
"Kau menyukainya?." Marvin bertanya, suaranya tampak gembira.
Bukannya menjawab pertanyaan Marvin, Sherena lebih memilih berlari dan memeluk Marvin erat, Marvin hampir terjengkang akibat ulah gadisnya itu sebelum kemudian membalasnya . Wajahnya ia benamkan di dada bidang milik Marvin sambil menikmati aroma tubuh Marvin yang membuatnya merasa nyaman. Merasa cukup, Sherena mundur untuk memberi jarak dan agak sedikit menjijit kan tubuhnya.
"Terima kasih." Pipi Sherena merona saat menjauhkan tubuhnya ditambah Marvin yang menatapnya intens.
"Melihatmu seperti ini, aku jadi tidak sabar ingin segera membawamu ke depan altar."
"Jadi, apa kita akan tetap berdiri disini saja?." Tanya Sherena sambil merangkul lengan Marvin.
OoO
Jauh di tengah hutan sana, berdiri bangunan megah yang menyimpan banyak misteri. Di sekelilingnya di bangun gerbang yang menjulang tinggi yang membatasinya dengan dunia luar. Lumut tumbuh di beberapa bagian yang menandakan usia bagunan yang sudah tua, namun batu yang menopangnya masih terlihat kokoh. Berbeda dengan keadaan di luar, pada bagian dalamnya masih terawat dengan baik.
Tidak ada yang mengetahui bahwa mansion itu masih di tempati, bukan manusia tapi oleh makhluk yang mereka anggap hanya sebuah legenda belaka. Makhluk dengan kulit putih pucat yang terkenal suka menghisap darah dan mengoyak kulit korbannya menggunakan taring yang di milikinya. Berbeda dengan vampire lainnya, mereka lebih memilih berdiam diri di dalam mansion bukan untuk menghindar namun lebih karena adanya batasan yang tidak bisa meleka lewati.
"Sampai kapan kau akan diam, Al?." Tanya Mark saat di rasa tidak ada yang mau membuka suaranya bahkan orang yang memanggil mereka hanya mampu berdiri membelakanginya sambil melihat keluar jendela.
"Kebebasan kita sudah dekat. Gadis itu ada di sini, di wilayah kita."
"Kalau kau tidak cepat bertindak aku dan Jemmy yang akan melakukannya." Ucap Mark sembari menunjuk James yang sedang berbaring dengan dagunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Cold Vampire
VampireSherena bermimpi bertemu dengan pria yang mencapnya sebagai miliknya, tanpa Sherena ketahui pertemuannya dengan pria itu telah membuatnya terikat dalam benang tak kasat mata. sesuatu terjadi di hari pernikahan Sherena dan kekasihnya Marvin Rusell...