09. Pulang

134 24 10
                                    

Seorang berpakaian kelabu dan mengenakan kacamata hitam tampak keluar dari terminal 3 Bandara Soekarno Hatta sambil menyeret sebuah koper besar. Tas ransel berukuran sedang turut bertengger di pundak tegapnya. Ia menoleh ke kanan dan kiri dan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru bandara seolah mencari seseorang, kemudian sebuah senyum terbit ketika seseorang belari ke arahnya sambil menyerukan namanya.

"Raka!"

Yang disebut Raka meletakkan barang bawaannya ke lantai, serta merta membuka kedua lengannya, membiarkan perempuan berambut hitam itu menghambur padanya.

"Kangen banget, banget, banget!" seru perempuan itu tanpa melepaskan pelukannya.

Raka melepas kacama rayban-nya dan tersenyum lagi. Tangannya bergerak untuk mengusap-usap puncak kepala Ola, perempuan yang belakangan ini hadir dalam hidupnya.

Ditatapnya perempuan itu lamat-lamat. Sempat ia meragu atas keputusannya yang menjadi alasan ia kembali ke Jakarta. Namun Ola sudah menunggu cukup lama. Dan menderita cukup lama.

Apalagi pembicaraan dengan mamanya semalam sudah cukup untuk meyakinkan dirinya bahwa pulang adalah keputusan yang tepat.

“Raka, sudah kamu pikirkan matang-matang keputusanmu itu?"

"Tentang apa, Ma?"

"Tentang kepulanganmu, dan apa yang akan kamu lakukan setelah itu?"

"Udah."

"Terus... soal itu. Sudah kamu selesaikan?"

"Rencananya nanti mau Raka selesaikan sekalian."

Raka menghela napas, ia hanya berharap semuanya dapat berjalan dengan semestinya.

"Kamu mikirin apa, sih?" tanya Ola, mungkin untuk yang kesekian kalinya, karena wajahnya terlihat sedikit jengkel.

“Bukan apa-apa."

Ola menggigit bibirnya, kecemasan-kecemasan itu muncul lagi ke permukaan. Sudah 2 tahun hampir berlalu semenjak insiden itu, Raka justru kembali menjadi sosok Raka yang dulu belum ia kenal. Dingin, jauh, dan asing.

Perjalanan Raka dan Ola ke rumah diisi dengan celotehan Ola tentang hari-harinya tanpa Raka. Tentang bagaimana sulitnya menghubungi Raka selama ia bekerja di Dubai, yang hanya ditanggapi Raka dengan tawa dan jawaban singkat.

Tubuhnya lelah, pikirannya juga lelah, ia ingin segera istirahat saja. Tidak ada yang lebih baik dari tumah dan masakan mamanya yang lama dirindukannya.

"La, abis ini kamu mau ke mana?" tanya Raka, sedikit menyela Ola yang tengah berbicara dengan semangat.

"Ikut kamu, deh. Aku tadi udah bilang Mama Alya, kok."

"Aku pulang ke rumah Mama Hera. Kamu langsung pulang ke rumah, ya? Aku mau istirahat dulu, deh. Capek banget, masih jetlag juga," ujar Raka.

Kening Ola berkerut, "Aku nggak boleh ke rumah kamu? Maksudku, aku kan bisa ngapain dulu gitu di rumah kamu sambil nunggu kamu istirahat."

"Boleh, boleh banget. Tapi daripada kamu nungguin aku yang kalau udah tidur jadi kebo, mending kamu istirahat, ‘kan? Aku lama kok di Jakarta, La. Kayaknya takut banget aku pergi?" Raka tertawa melihat reaksi Ola yang seperti anak kecil enggan berpisah dengan temannya.

Well, nyatanya memang seperti itu.
Ola selalu takut kalau suatu saat Raka akan kembali dan pergi menemui Aluna. Dan ketakutannya semakin menjadi-jadi saat Raka bilang bahwa hari ini ia akan pulang ke rumah Mama Hera.

Alluring AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang