16. Satu langkah

677 29 17
                                    

Sekarang lo coba menjadi akar buat Alga.

Kata itu terus terngiang di kepala Agatha seperti kaset rusak yang di putar. Jadi yang harus dilakukan Agatha adalah membuka hati lebih lebar lagi untuk Alga. Melangkah lebih mendekat kepada cowok itu.

Nama Agatha terpanggil bersamaan dengan jatuhnya gadis itu karena tali sepatunya. Agatha mendengus, lalu bangkit menghadap orang yang barusaja memanggil namanya. Dihadapannya sudah ada pak Bambang, Agatha di dekat lapangan basket.

"Kok latihannya di luar pak?" Agatha bertanya polos. Pak Bambang mengangguk, "Kamu mau kemana?"

"Mau ke perpus deket studio basket, kenapa pak?"

"Kebetulan Alga disana, kamu bisa panggil dia kan? Hp nya ia tinggal sama Alta."

Agatha mengangguk mengerti. Menemui Alga. Agatha kira mungkin ini waktu yang tepat untuk berbicara empat mata.

Agatha melihat seorang gadis masuk ke dalam studio, wajahnya familiar. Agatha berjalan santai. Mencoba berfikir kata apa yang pantas untuk dikatakan pada cowok dengan tubuh bidang itu.

Agatha tersenyum malu ketika ia mengingat dulu saat kelas sepuluh dengan cerobohnya memasuki ruang ganti anak basket yang kebetulan baru saja menyelesaikan latihan.

Dengan sigap gadis itu membuka pintu, dengan kaki melangkah masuk. Kebetulan Agatha adalah anak kebanggaan pak Bambang di bidang olahraga, jadi apapun yang berhubungan dengan olahraga ia tercantum di dalamnya. Termasuk memanggil anak basket untuk tidak berganti baju terlebih dahulu.

"Buat anak basket, kata pak-" katanya terputus ketika Agatha tanpa permisi melihat beberapa anak basket sudah hampir membuka bajunya, iya hampir tidak dengan satu orang yang Agatha lihat, cowok itu Alga.

Dengan kemeja osis yang baru saja hendak dipakainya. Wajah Agatha bersemu menahan malu, dengan sigap ia menutup pintu keras. Agatha merutukkan kecerobohan yang ia tidak akan ulangi lagi.

Yang Agatha lihat dari ekspresi anak basket itu, hanya ekspresi bingung kenapa seorang gadis berani membuka pintu tanpa izin. Agatha yakin Alta akan meledeknya di kelas nanti. Kebetulan kelas sepuluh mereka bertiga sama.

Pintu terbuka membuat Agatha menutup matanya, "Sumpah gue minta maaf, gue gak bermaksud-"

"Ada apa?" Alga memotongnya. Agatha membuka mata perlahan, memastikan jika cowok itu sudah memakai baju. Karena sudah pasti, Agatha membuka mata lebar, tapi pandangan ke bawah. Cowok itu belum mengancing kemejanya, mmebuat sebagian tubuhnya terlihat. Sial.

Agatha gugup bukan karena itu, tapi karena berhadapan dengan mantan. "Jangan ganti baju dulu." Ucap Agatha ambigu membuat Alga menyerngit bingung. "Lo mau lihat gue kaya tadi ?"

Sontak Agatha memukul lengan Alga. Cowok itu tertawa, "Lo pengin gue peluk Tha." Nada itu membingungkan, Alga seperti bertanya tapi seperti memaksa. Alhasil hanya ucapan singkat yang Agatha jawab. "Apaan si Ga!" Wajahnya kesal.

Alga terkekeh, menggoda mantan itu jarang, jadi kalau sekali mantannya ada di hadapannya Alga tidak akan berhenti menggoda, bahkan sampai mereka kelas sebelas. "Ya udah gue serius, ada apa?" Alga bersende pada tembok, dengan menatap Agatha penuh di depan pintu. Untung saja pintunya tertutup.

"Kata pak Bambang, anak basket jangan ganti dulu."

"Gue belum punya anak loh Tha, kan kita belum nikah." Ujar Alga dengan tampang polos. Agatha berdecak, kesal menghadapi Alga. "Alga!"

"Kan lo bilangnya anak." Alga membalas. Agatha mendengus, "Maksudnya anak ekskul basket yang baru aja latihan."

Alga menjetikkan jari, "Nah itu baru bener," Agatha memutar mata jengah. "Ya udah gue ganti baju disini aja ya?" Agatha berbalik, "Terserah." Meninggalkan Alga di depan pintu yang sedang tertawa.

AgathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang