---
Desa Konoha, Ruang Hokage
Tsunade duduk di belakang meja Hokage dengan ekspresi tegang. Di hadapannya, Kakashi berdiri dengan kotak yang berisi bagian tubuh Kakuzu.
"Kau bilang anggota Akatsuki yang telah mati menyerang? Bagaimana mungkin?" tanya Tsunade, wajahnya menunjukkan kekhawatiran mendalam.
"Aku tidak tahu," sahut Kakashi, "Mereka mundur tanpa serangan balasan. Mungkin mereka hanya ingin mengirim pesan."
"Ini bisa jadi ancaman serius atau ada tujuan lain," ucap Tsunade sambil mengerutkan dahi.
Shizune, yang berdiri di samping Tsunade, mengusulkan, "Mari kita perluas penjagaan dan memperkuat patroli desa."
"Setuju," jawab Tsunade. Ia kemudian memperhatikan kotak di tangan Kakashi. "Dan kita masih punya bagian tubuh ini untuk diteliti, kan? Lakukan biopsi dan bandingkan dengan data yang ada sekarang juga!"
"Baik!" jawab Shizune dengan tegas.
---
Di tengah hiruk-pikuk desa, Ibu Kiba berdiri di dekat Kiba dan anak-anak lainnya. Ia berbicara dengan penuh kebanggaan, "Aku dengar, Akatsuki menjadi ekor kecil setelah diserang oleh kalian."
"Yaaa, begitulah," jawab Kiba sambil mengelus Akamaru. "Tapi itu berakhir begitu cepat."
"Tidak benar, kau sudah melakukannya dengan sangat baik," kata ibunya, membela anaknya.
"Inilah putraku, melakukan hal yang tepat saat menghadapi situasi sulit," tambahnya dengan bangga.
Inoichi, yang berdiri di sampingnya, bertanya kepada anaknya, Ino, "Bukankah semua anggota Akatsuki adalah orang-orang yang sangat kuat?"
"Dan kalian berhasil membuat mereka kabur! Kalian sama hebatnya dengan Jounin!" sambung Chouza, memuji anaknya, Chouji.
"Hehe, hontou ni?" ucap Chouji dengan malu, sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Tentu," jawab Inoichi. "Karena itu, kami membicarakannya dan memutuskan untuk mengirim surat rekomendasi ke Hokage agar kalian diangkat menjadi Jounin."
"Benarkah? Jadi kami akan menjadi Jounin?" tanya Ino dengan mata berbinar.
"Percayalah, ini diputuskan dengan persetujuan bersama," kata Ibu Kiba dengan senyum.
"Benar, kan?" tanya Ino.
"Ya, ya, benar. Aku setuju..." jawab orang tua-orang tua Chuunin yang ada di sana, seperti orang tua Kiba, InoShikaCho, Sakura, Hinata, dan lainnya.
Naruto melintas di tengah-tengah kerumunan, lalu mendekati Ibu Kiba. Ia mulai, "Eh, anoo..." Namun, Ibu Kiba tidak mendengarkan dan melanjutkan obrolannya. Naruto kemudian melihat Sakura, yang tampaknya juga didukung oleh orang tuanya.
---
"Ooo... Okaa-san..." ucap Sakura kepada ibunya.
"Sakura selalu sembrono, melepaskan sepatunya dan melemparkannya sembarangan. Dia bahkan tidak pernah mencuci pakaian sendiri! Aku khawatir dia akan terus begitu bahkan saat dia menjadi Jounin..." kata Ibu Sakura, sementara Ayah Sakura dan orang-orang di sekitar tertawa terbahak-bahak. Wajah Sakura memerah malu.
"A-apa yang kau katakan di depan umum!? Tidak seharusnya seperti ini!" ucap Sakura.
"Hihi... Sakura tunduk di bawah ibunya..." canda Ino.
"Kau tak perlu khawatir, Sakura bersama guru yang baik, jadi dia akan baik-baik saja bahkan dalam situasi 'berbulu'," kata ayahnya dengan lelucon yang sebenarnya tidak lucu.
"Ibu, tolong hentikan! Leluconmu terlalu datar dan itu menyebalkan," protes Sakura.
"Ibu Sakura menjadi kesal, "Wah, lihat cara dia bicara...!!"
Melihat pertengkaran itu, Naruto mendekat dan mencoba melerai, "Oi Sakura, apa yang kau lakukan pada orang tuamu?"
"Urusanku bukan urusanmu!" jawab Sakura dengan nada kesal, membuat Naruto sedikit terkejut.
---
Naruto berjalan pulang bersama Sai, sementara matahari mulai terbenam. Mereka melewati taman bermain yang ramai dengan anak-anak yang sedang bermain kelereng.
"Sepertinya semua orang tua merekomendasikan anak mereka menjadi Jounin..." kata Naruto membuka pembicaraan.
"Apa yang akan kau lakukan, Sai?" tanya Naruto.
Sai tersenyum seperti biasa, "Aku tidak yakin. Karena sebelumnya aku adalah anggota ROOT, cara menjadi Jounin pun berbeda..."
"Hmmm..." Naruto berpikir. Mereka akhirnya berpisah, dan Naruto melanjutkan perjalanan pulang sendirian. Ia melewati kedai Ichiraku tanpa mampir, dan kemudian melihat sebuah toko dengan reklame yang menggambarkan keluarga bahagia. Di sampingnya, sebuah keluarga sedang berbincang.
"Wah, bagaimana kau akan menghabiskan semuanya?" tanya si ayah kepada anak perempuannya yang memegang banyak makanan.
"Haha, aku bisa menghabiskannya!" jawab anak itu dengan wajah ceria.
"Gigimu akan rusak..." kata sang ayah.
"Bukan masalah! Hehe..." kata anak itu sebelum keluarga itu berlalu.
Naruto hanya memperhatikan, hari semakin larut. Tanpa sadar, ia melewati taman bermain yang penuh dengan anak-anak. Satu per satu, orang tua anak-anak itu datang menjemput dan menggendong anak-anak mereka pulang.
Naruto kemudian melihat patung Hokage Keempat, wajah ayahnya, dan teringat kenangan saat ia bertemu dengan ayah dan ibunya-orang tua yang seharusnya ada di sampingnya saat ini.
Dengan langkah berat, Naruto berjalan menjauh dari taman.
---
Naruto tiba di depan pintu rumahnya dan memutar pegangan pintu dengan perlahan. Ia membuka pintu kamarnya dan merasakan suasana sepi yang menyelimuti rumahnya.
Sunyi... Sepi...
Naruto membuka pintu kamar dengan ragu, berharap ada sesuatu yang menyambutnya. Ia menghela napas dan tersenyum.
"TADAIMA-" langkahnya berhenti. Ruangan itu kosong, hanya ada bekas kotak ramen instan dan sampah makanan instan di kamar. Tidak ada seseorang yang mengucapkan "Okaerii~" padanya.
Naruto tiba-tiba tersadar akan kenyataan itu.
---
Di malam hari di Konoha, suasana cukup ramai. Naruto dan Iruka duduk di bangku Ichiraku Ramen Bar.
"Bukankah kau bilang ada sesuatu yang ingin kau katakan?" tanya Iruka pada Naruto.
"Eeetttooo... Iruka-sensei, baiklah... itu..." ucap Naruto mencoba memilih kata-kata.
"Bisakah kau menulis surat rekomendasi Jounin?"
"Apa?"
"Semua rekanku bilang bahwa ayah atau ibu mereka akan menuliskannya untuk mereka," jelas Naruto. "Jadi aku ingin kau-"
"Tidak, aku tidak bisa," potong Iruka.
"Eee? Kenapa tidak?"
"Ada peraturan yang harus diikuti," jawab Iruka. "Kau harus menjadi Chuunin dulu. Kau telah melindungi desa dari Pain dan dipuji sebagai pahlawan yang menyelamatkan desa, tapi aku tidak bisa memberimu perlakuan istimewa."
Naruto mendesah, agak kesal. "Ayahmu yang Hokage Keempat juga melewati tingkat Genin, Chuunin, Jounin, dan akhirnya menjadi Hokage. Dan dia menjadi seorang pahlawan."
"Lalu dia berubah menjadi pahatan batu," ucap Naruto dengan nada menyesal. "Batu tidak bisa mengatakan 'Selamat Datang'."
"Naruto..." Iruka menggebrak meja, "Berhentilah bicara hal-hal bodoh!"
"Eee?"
"Mengapa leluconmu begitu buruk sekarang?" Iruka kembali duduk tenang. "Aku paham perasaanmu. Kadang-kadang, memiliki orang tua yang diukir di batu memang tidak sama dengan memiliki orang tua yang bisa menyambutmu pulang."
Naruto hanya tersenyum, mengerti. "Entahlah."
---
Tbc.