Aku selalu merasa ruang gerakku dibatasi. Setiap kegiatan yang menguras waktu dan energi, aku tak pernah mendapatkan izin mengikutinya. Terlebih, semua kegiatan diluar belajar maka akan di capnya tak penting.
Aku adalah remaja yang sudah hampir menginjak umur 20 tahun. Tetapi bahkan tidur lebih dari jam sepuluh malam pun akan diomeli untuk segera tidur, dan keesokkan paginya omelan itu akan berlanjut.
Dulu, saat masih di sekolah menengah atas, batas waktu pulangku adalah jam lima sore. Lebih dari itu, mereka akan memarahiku sampai aku berbusa menjelaskan alasannya.
Kini, saat aku sudah memasuki dunia perkuliahan, batas waktuku menjadi lebih mengerucut, yakni jam tiga sore. Lebih dari itu, handphone ku akan berdering terus menerus. Alhasil aku menjadi mahasiswa yang bercap kupu-kupu, kuliah-pulang-kuliah-pulang. Hebatnya, jam mata kuliah di kampusku berurutan dari jam delapan pagi sampai jam satu siang, perjalanan dari kampus ke rumah berdurasi satu jam. Jadi, agar tidak melewati batas pulang aku hanya punya waktu berleha-leha di kampus sekitar setengah jam.
Meski begitu, aku selalu merasa punya tanggungjawab membanggakan mereka. Alhasil dari kecil aku selalu terobsesi menjadi nomor satu. Obsesiku dimulai saat aku menginjak sekolah dasar.
Dari sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama aku tidak menemukan kesulitan yang berarti. Meski saat menengah pertama aku mulai merasa terombang-ambing, namun aku masih bisa mengatasi.
Petaka dimulai saat aku masuk sekolah menengah atas. Aku mulai kehilangan rasa percaya diri. Aku pun jadi sulit fokus. Alhasil, aku menyerah bahkan sebelum perang dimulai.
Rasa gagal selalu menghantuiku. Aku yang dari kecil kerap kali sakit, kini intensitas sakit ku semakin sering. Aku menjadi sosok yang mudah terkena penyakit. Terlebih, aku mulai jarang makan. Seolah nafsu makanku pergi entah kemana.
Aku memang sering sakit, beberapakali juga harus dirawat di rumah sakit. Namun diagnosa dokter saat aku kelas sepuluh SMA membuat aku mulai sadar bahwa aku harus berhenti terobsesi menjadi nomor satu. Terlebih, diagnosis dokter satu dengan lainnya yang berbeda namun dengan latar belakang yang sama membuatku mau tak mau harus melepas obsesiku.
Meski sulit, aku berusaha untuk bangkit. Saat itu, aku di sadarkan oleh banyaknya air mata dari mereka. Bahkan sosok yang ku kenal tenang dan galak itu pun harus menangis karena melihat aku yang kesakitan. Ah, jangan ditanya bagaimana sosok yang cerewet, dia bahkan selalu menangis melihat ku yang duduk pun tak mampu. Melihat mereka, mendengar keuangan keluarga, dan menyadari bahwa aku sudah merepotkan, aku mulai bertekad untuk bisa sembuh.
Aku mulai benar-benar melepas obsesiku saat aku naik kelas dua menengah atas. Aku memilih fokus pada hal lain. Karena jujur, kesalahanku karena memilih jalur yang salah diranah akademik. Dengan kemampuan hitungan yang minim, justru aku malah memilih jalur IPA, yang sudah dipastikan mematikan obsesiku sendiri.
Aku sembuh, aku terlena.
Sesekali aku kadang sakit meski hanya kambuh pada malam hari. Namun, kebiasan burukku juga kembali.
Aku tidur larut malam. Aku jarang makan.Makanan ku hanya seputar mie dan makanan yang pedas.
Aku salah. Kembali aku salah memahami.
Bahwa saat aku gagal memasuki dunia kampus yang bertitle negri, aku pikir sosok cerewet itu menangis bersamaku karena kegagalanku. Aku pikir saat aku tidak bisa memenangkan perlombaan cerpen, sosok itu sebal dengan kegagalanku. Dan segala kegagalan lainnya yang tak sesuai keinganan, aku selalu berpikir bahwa sosok cerewet itu merasa kecewa terhadapku.
Aku mulai kembali punya obsesi. Yang ku sadari hasil pupuk dari kelas dua sampai tiga sekolah menengah atas. Obsesi ingin dianggap ada. Obsesi ingin terlihat.
Aku salah.
Aku salah karena kembali pada titik awal. Dimana ingin dilihat ada, maka aku harus menjadi nomor satu. Ku kejar IP tinggi. Ku tarik ingatan dosen. Bahkan dalam hal rasa yang dialami remaja. Aku selalu ingin menjadi satu.
Petaka itu datang lagi. Penyakit yang sudah pergi pun kembali. Kini, aku merasa kesakitan lebih dari empat tahun yang lalu. Kini, aku lebih merasa menyesal dari empat tahun yang lalu.
Sosok kuat yang ku panggil Bapa itu menangis melihatku. Sosok cerewet yang ku panggil mama itu menangis melihatku.
Batasku bukan jam tiga atau jam lima. Batasku adalah melihat Bapa menangis karenaku.
Dia menyadarkanku dari kekeliruan pemahamanku.
Mereka ikut menangis saat aku gagal, bukan karena aku yang gagal. Namun karena aku menangis sampai dadaku terasa sesak. Sampai aku tidak makan. Sampai aku demam. Dan sampai aku kesakitan.
Apa yang kusebut dengan tanggungjawab membanggakan adalah nomor satu. Namun bagi mereka aku sehat dan makan lahap itu lebih dari membuat mereka tenang.
Aku selalu protes tentang izin yang menyulitkan. Padahal setiap izin itu diberikan mereka selalu was-was sampai aku pulang.
Aku merasa keuangan keluarga membaik namun sulit sekali untuk sekedar keluar berjalan-jalan, nyatanya itu semata-mata untuk biaya pendidikanku.
Aku selalu protes. Aku selalu tak mengerti dan tidak mau memahami. Aku selalu berpikir bahwa aku ini dan itu pun untuk membanggakan mereka. Namun, aku lalai atas apa yang mereka khawatirkan.
Maaf. Aku ingin sekali memeluk mereka saat mereka menangis karenaku. Maaf karena keliru memahami. Maaf karena selalu merepotkan.
Pa, Ma. Aku akan berusaha untuk sembuh. Aku akan sehat dan makan dengan lahap.
❤❤❤
Kamis, 14 Juni 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Life
Fiksi RemajaHidup itu punya banyak rasa. Dari rasa yang paling manis sampai rasa yang paling pahit sekalipun. Dengan banyak nya rasa yang ada, saya di sini akan sedikit mengulas tentang rasa yang mungkin pernah anda lihat atau bahkan merasakannya. Yuk, mari ken...