/when the timing is right, old loves are allowed to be resurrected,
old loves are allowed to try again/
💠💠💠Sekilas, Sebastian mengalihkan pandangannya dari jalanan, demi mengkhawatirkan gadis yang duduk di jok sebelahnya. Pasalnya, Sheryl tidak henti-hentinya terisak semenjak mobil yang mereka tumpangi melaju meninggalkan area jembatan. "Gue udah bisa nebak bakal gini jadinya kalau lo berdua ketemu,"
Ucapan laki-laki itu membuat Sheryl seketika menghentikan tangisnya dan menoleh. "Gimana bisa lo udah nebak? Gue bahkan nggak punya ide bakal ketemu dia secepet ini, se-unexpected ini,"
"Cepet atau lambat kalian pasti ketemu. Entah karena dia yang nyari lo atau lo yang nyari dia. Atau mungkin karena konspirasi alam semesta, kayak pertemuan kalian malam ini," Sebastian tersenyum kecut, fokusnya kembali terkunci pada jalanan di depan sana. "Maaf tadi gue kalap dan nyeret lo di depan dia,"
"Emang udah jadi hobi lo, kan? Nyeret-nyeret gue?" sindir Sheryl seraya mengusap kasar jejak air mata di pipinya.
Sebastian sempat termenung beberapa saat, sebelum akhirnya bertanya. "Seneng lo?"
"Seneng apa?"
"Ketemu. Sama dia,"
Gantian Sheryl yang diam, mencoba merangkai kata-kata yang sekiranya tidak berpotensi membuat suasana menjadi canggung. "Ya, seneng lah? Ketemu temen lama ini, masa nggak seneng? Tapi lebih banyak kagetnya, sih,"
"Terus? Kalau seneng, ngapain nangis?"
"Hmm... Euforia, mungkin?"
"Euforia," Sebastian mengulang sambil manggut-manggut. Ada jeda beberapa menit setelahnya, membuat kadar kecanggungan di dalam mobil itu meningkat pesat. "Sher. Soal perjodohan kita—"
Punggung Sheryl menegak, buru-buru dipotongnya ucapan laki-laki itu. "Soal itu, gue minta maaf. Lo tahu, ini dadakan banget dan jujur, gue belum siap buat semua—"
"Tapi tadi lo bilang, lo siap," Nada bicara Sebastian mendadak dingin dan hambar.
Sheryl menelan ludah. "Okay, gue bohong. Udah semingguan gue pikirin ini mateng-mateng. Emang kelihatannya childish banget pakai acara kabur dari rumah segala, tapi ini satu-satunya cara gue biar bisa ngebatalin perjodohan kita,"
"Seburuk itukah gue di mata lo, sampai-sampai lo berusaha setengah mati ngebatalin perjodohan kita?"
"B-bukan gitu maksud gue, Yan. Justru gue rasa, gue yang terlalu buruk buat—EHH!!" Sheryl memekik terkejut, refleks meremas sabuk pengaman yang dikenakannya karena Sebastian menginjak pedal rem secara mendadak. Kalau saja mereka tidak sedang berada di jalanan sepi, pasti sudah terdengar lolongan klakson dari belakang mobil mereka. Atau kemungkinan terparahnya adalah tabrakan beruntun. Secara, ini di tengah jalan dan tidak ada alasan untuk Sebastian mengerem tiba-tiba. Sheryl bahkan bisa merasakan bulu kuduknya meremang, membayangkan kemungkinan buruk itu. "Gila ya, lo?!"
Sebastian menepikan mobilnya ke dekat trotoar, lantas membenarkan posisinya menjadi menghadap Sheryl lurus-lurus.
"Yang mau lo omongin itu bullshit tahu nggak, sih? Kalau mau lo emang ngusir gue dari kehidupan lo, bilang. Nggak usah pakai ngomong kayak gitu segala,"
"Gue nggak pernah punya pikiran buat ngusir lo, Tian,"
"Kenapa? Karena lo masih butuh gue? Bukannya udah ada dia? Malah aneh kalau lo nggak nyuruh gue pergi, sementara mau lo adalah kembali ke dia. Egois itu namanya, Sheryl,"
Sheryl hendak menyanggah, namun sisa tenaganya seperti menguar begitu saja melihat aura dingin di raut laki-laki itu. Bibirnya hanya terbuka sedikit, terlalu gemetar bahkan untuk mengucap sepatah kata. Tidak pernah sekalipun dilihatnya Sebastian yang seperti ini. Mungkin sudah sampai di titik jengah karena selalu menjadi Sebastian yang hangat, tanpa pernah Sheryl menyadari laki-laki itu sebenarnya sedang menutup-nutupi rasa lelahnya berada di penantian tak berujung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pandora✔
أدب المراهقينSelalu ada hati yang merindukanmu untuk pulang. Menyiapkan segalanya agar kamu nyaman untuk tinggal. ©2019 • oldelovel