Semangat yang Terbanting

14 0 0
                                    

Apapun yang terjadi, senyumin aja. Itulah yang terjadi padaku dari pagi tadi sampai siang ini. Anggap aja ini pelatihan buat kerja nanti, kesal dihati bukan masalah yang harus ditekankan dalam masalah pekerjaan. Pelanggan demi pelanggan berdatangan tanpa henti, bisa mati berdiri kalo kayak gini terus. Sudah lima jam berlalu, akhirnya Rachman kembali.

"Hoi, pekerjaanmu menanti sialan. Pergi kelamaan semau-mau lagi." Gumamku melihat anak direktur cabang kembali.

"Nak Gisele?" Memanggilku dari balik badanku.

"Iya pak? Ada apa?" Berbalik dengan siap memasang ekspresi ramah.

"Ternyata kemampuanmu hebat ya nak?" Memujiku dengan bangganya.

"Terima kasih pak." Menundukkan kepalaku sejenak.

"Nanti sore temui saya diatas ya? Ada yang mau saya sampaikan."

"Iya pak. Kalo begitu saya kembali kerja ya pak?"

"Silakan nak."

Suasana yang sangat gaduh membuatku tak bisa berhenti beristirahat.

"Dek Gisele, tolong install ulangin laptop ini. Ketentuan udah saya catetin dilembaran buku note."

"Iya kak aku tanganin sekarang."

"Dek, ini ada yang mau beli laptop buat multimedia."

"Tawarin aja, yang harganya sekitaran 5 jutaan kak."

"Perlu bantuan Neng? Hahaha" Dengan santainya Rachman tertawa.

"Kupatahin tulang lehermu, cepetan bantu." Kubentak dengan sengaja.

"Oke... Tolong kamu bantu mereka yang mau beli laptop atau hardware."

Penderitaan ini berakhir dijam 5 sore, horee... seenggaknya aku bisa tarik napas dan mengikat rambutku yang terurai sebahu menjadi ponytails.

"Sel, ayo pulang. Saya yang didepan kok." Menunjuk motornya yang terparkir didepan toko dengan jempol.

"Aku diminta bapakmu buat ngadep sore ini, tunggu bentar." Pintaku sambil berjalan menuju ruangan tadi.

"Yaudah, saya tunggu dimotor."

Tangga demi tangga kuinjak dan kuhitung. Ternyata jumlahnya 54 anak tangga, akhirnya aku tiba diruang direktur.

"Aku ngapain ngitungin ginian." Gumamku prihatin dengan kebodohan diri sendiri.

"Permisi pak?" Mengetuk pintu secara perlahan.

"Masuk."

Kubuka pintunya dan melihat pak direktur cabang sedang duduk berjegang sambil menghabiskan kopinya.

"Ada perlu apa pak tadi siang panggil saya?" Tanyaku sambil ,menatap kopi yang dinikmati beliau.

"Kamu boleh dateng kapan aja terserah, tapi saya bayarnya pas hari itu kamu kerja dan sorenya langsung saya bayar."

"Iya pak, terima kasih.."

"Ini, bayaran kamu untuk hari ini, gak banyak sih semoga bermanfaat." Menyodorkan amplop coklat.

"Terima kasih banyak pak.. Senang bisa bekerja dengan anda." Ucapku dengan ekspresi berseri-seri

"Hm... Kamu mau kopi ini?" Menunjuk kopi ditangannya denga kedua iris matanya.

"Nggak pak, saya izin pulang dulu ya?" Bergegas pergi.

"Iya nak hati-hati."

Mungkin uangnya gak terlalu banyak tapi ini cukup untuk seminggu masak. Langkah demi langkah aku ingat suatu hal yang berhubungan dengan bapak itu tapi nampak rabun diingatanku sampai aku menghampiri Rachman dimotornya.

Semua IN : Expectations of RealityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang