"Aku hanya terlalu takjub dengan kumbang yang menawan, sampai aku tidak sadar jika terus mengikutinnya hingga tersesat. Saat itulah aku baru teringat, waktuku sudah habis tetapi aku masih terjebak dalam labirin yang belum kutemui titik terangnya. Aku harus bagaimana?"
-Pecah-
---
Untuk kedua kalinya, gadis yang sekarang telah mengenakan selempang dengan gelar baru di belakang namanya, mengembuskan napasnya dengan lega. Siang ini, Rajwa telah resmi menyandang gelar sarjana gizi seperti apa yang telah ada dalam visi hidupnya. Rangkaian bunga, coklat, boneka, bahkan buket kuaci rasa greentea favoritnya turut memenuhi kedua tangannya. Ucapan selamat sudah membanjiri Rajwa sejak dia keluar dari ruang sidang.
Akhirnya, setelah empat bulan perjuangan dalam menuntaskan tugas akhirnya, Rajwa bisa tersenyum bangga saat bisa menyelesaikannya dengan gelar mumtaz. Beruntung, dia memiliki dosen pembimbing yang nyaman untuk berdiskusi dan mudah untuk ditemui, hingga tidak memakan waktu lama saat proses bimbingan.
"Rajwaaa ... ayo foto dulu sama Maryam!"
Rajwa terkekeh mendengar teriakan Maryam yang memang tidak pernah bisa kalem. Untuk memenuhi keinginan sahabatnya, Rajwa terlebih dahulu menyimpan beberapa hadiah dari teman-temannya yang lain di atas meja taman yang berbentuk bulat. Dengan memamerkan gigi putihnya, Rajwa dan Maryam berfoto dengan saling merangkul.
"Aaah ... Rajwa. Aku jadi pengen cepet-cepet sidang, deh," ucap Maryam saat mereka sudah selesai berfoto.
"Makannya, Yam, jangan rebahan mulu. Coba deh hijrah, dari generasi rebahan ke generasi rabbani agar lebih produktif."
Maryam mendengus kesal saat mendengar cekikikan Rajwa. Tapi, memang ada benarnya juga sih, dia selama ini terlalu dimanjakan oleh gravitasi bumi hingga menjadi manusia yang mageran, inginnya selalu rebahan.
"Uluh ... uluh .... Udah ah, jangan manyun gitu," ucap Rajwa saat melihat Maryam yang cemberut. Di perantauan ini, Rajwa hanya memiliki Maryam untuk tempatnya bercerita banyak hal. Dalam hati, Rajwa tidak hentinya merasa bersyukur karena Allah telah hadirkan Maryam sebagai sahabatnya. Sesama anak perantauan, mereka saling simbiosis mutualisme, saling ada jika salah satu sedang membutuhkan, ataupun selalu siap sedia saat salah satu di antara mereka sedang membutuhkan tempat untuk bercerita.
Dengan kembali merangkul Maryam, Rajwa berucap, "Terimakasih ya, Yam. Kamu udah mau jadi sahabatku dan berjuang bersama di daerah orang seperti ini. Gak tau deh aku harus bercerita dan mengeluh sama siapa kalo gak ada kamu."
Selama ini, bahkan seumur hidupnya jika dia sedang mengalami masalah, tidak pernah sekalipun dalam hidup Rajwa membebani orangtuanya atau orang lain, bahkan untuk sekedar bercerita. Dia memang tipikal orang yang tidak akan mudah untuk bercerita jika ada masalah, beda halnya jika sedang ada kegembiraan. Karena bagi Rajwa, cukup dia yang pusing dengan masalahnya, jangan ajak orang lain apalagi orangtua karena merekapun sudah sulit dengan masalah masing-masing. Setelah mengenal Maryam, perlahan pola pikir itu mulai berubah. Rajwa bisa sedikit lebih terbuka jika sedang mengalami sebuah masalah, dan Maryamlah tempatnya menceritakan semua hal, termasuk soal perasaan Rajwa kepada Riyadh.
"Kok, kamu ngomong gitu, sih? Sebel deh aku," gerutu Maryam yang sudah mulai berkaca-kaca. Dia memang seperti itu, mudah tersentuh dan terkesan cengeng.
"Udah ah, cepetan selesain. Katanya pengen cepet sarjana biar bisa dilirik sama a Zikri?"
Wajah Maryam berubah menjadi lesu kala mendengar nama Zikri.
"Aku mundur, Ra."
"Loh, kok nyerah gitu? Biasanya juga semangat pertus (pepet terus). Katanya mau jadi kakak iparku," goda Rajwa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pecah
Духовные[Update setiap hari Jumat] Kemungkinan terbesar dari mencintai adalah patah hati. Seperti halnya selalu ada substitusi setelah eliminasi. Maka begitulah dengan persoalan hati, selalu ada patah hati setelah adanya jatuh cinta. Patah hati menggiring l...