Prologue

114 14 0
                                    

Pukul 00.00 AM.

"Aku pulang." Lelaki itu melepas sepatu dan kaus kaki yang ia kenakan kemudian meletakkannya di rak sepatu. Tak ada yang menyahut seruannya. Tampaknya orang rumah sudah terlelap sejak dua jam lalu ketika ia tengah berkelana mencari mangsa untuk melengkapi koleksinya yang kesekian. "Aku membawa sesuatu yang menarik malam ini." Lanjutnya. "Katakan padaku kalian takkan menyentuhnya atau kalian yang akan jadi koleksiku selanjutnya."

Hening. Tiada jawaban. Lelaki itu tersenyum. "Kalian berjanji tidak akan menyentuhnya, ya? Bagus. Sekarang, tidurlah." Bagai orang gila, ia meracau sendiri seraya berjalan menyusuri lorong rumahnya yang gelap dan sunyi. Sebuah benda yang ia bawa di tangan kirinya membuat bibirnya menyeringai tipis. "Katakan padaku kalian sudah tidur karena aku akan mengecek satu-persatu kamar kalian usai meletakkan koleksi ini di ruanganku." Lelaki itu menggeser pintu sebuah ruangan yang terletak di sudut lorong. Aroma darah menguar bersamaan dengan terbukanya pintu.

"Malam ini juga aromanya lezat sekali." Benda itu ia letakkan di meja setelah sebelumnya pintu utama ia segel. "Katakan padaku kalian takkan mengganggu ritualku kecuali kalian ingin dijadikan tumbal juga." Ia kembali meracau. Benda yang ternyata sebuah kepala manusia itu tersaji dengan rapi di meja kerjanya. "Lihat ini, kau manis sekali. Astaga, aku tidak salah memilihmu sebagai korbanku malam ini. Kau akan jadi manekinku yang paling sempurna." Jemari panjang lelaki itu menari di kulit pipi kepala gadis malang itu. Pisau kesayangannya ia letakkan di dalam saku celana panjangnya. "Kini aku tak tahu apa harus membedahmu malam ini atau besok, tapi keluargaku akan ribut jika tahu bahwa aku membawa pulang seorang gadis lagi."

Iris silver-nya menyorot tajam ekspresi wajah gadis di hadapannya. Kedua tangannya memegang kedua sisi kepala itu, kemudian mengangkatnya hingga sejajar dengan wajahnya. Diamatinya setiap inci dari wajah sang gadis. Bibirnya tak henti melahirkan pujian demi pujian atas hasil karya Tuhan yang Mahasempurna. Diusapnya surai pirang gadis itu dengan penuh cinta seakan-akan gadis di tangannya adalah kekasihnya sendiri. Lelaki itu tersenyum tipis. Pisau di sakunya berteriak ingin dikeluarkan.

"Baiklah, aku akan mengeluarkanmu sekarang." Diloloskannya sang pisau dari saku celana panjangnya kemudian diusapkannya pada kulit pipi sang gadis. "Aku tahu kau amat menginginkan kulit ini. Ya, kan? Lihat, dia adalah mahakarya Tuhan yang paling sempurna. Aku benar-benar beruntung malam ini bisa membuatnya menjadi salah satu koleksiku."

Sreeett...

Kulit pipi sang gadis tersayat akibat goresan runcing pisau kesayangan lelaki itu. Darah segar mengalir dari sela-sela luka yang terbuka, mengeluarkan aroma khas yang membuat lelaki itu semakin liar memainkan pisaunya. Usai dengan kulit pipi, kini mata indah sang gadis yang jadi sasarannya. Ia tak berhenti menatap iris ocean milik gadis itu sebelum meloloskan keduanya dari rongga matanya. Bola mata indah itu jatuh begitu saja ke lantai, menciptakan percikan darah dengan suara yang menggiurkan.

"Heh... hehehe... maafkan aku, Nona." Lelaki itu memungut salah satu bola mata milik sang gadis. "Asal kau tahu, aku suka warna irismu jadi aku mengambilnya supaya tak ada yang bisa memilikimu selain aku."

Pisau di tangannya kembali berulah. Kali ini, ia menggores bibir tipis sang gadis ketika iris silver-nya menatap lapar sesuatu yang menetes karenanya. Cairan kental berwarna merah itu menetes membasahi kemeja putihnya. "Hei, kau mengotori kemejaku." Serunya dengan wajah gusar. Diambilnya sebuah botol kaca berukuran sedang untuk menampung cairan kental dari bibir gadis itu. "Ya, kau boleh meneteskannya di sini asal jangan di kemejaku. Kau tahu, biaya laundry itu sangat mahal dan aku sedang tak punya uang."

Tentu saja gadis yang ia ajak bicara tak menyahut racauannya karena ia kembali menggunakan pisaunya untuk menyilet lidah sang gadis. Lelaki itu meletakkan lidah hasil siletannya di dalam sebuah cawan kaca kemudian menutupnya dengan rapi dan meletakkannya di lemari koleksi. Ya, usai sudah pekerjaannya malam ini.

"Kau tahu? Aku masih ingin bermain denganmu malam ini akan tetapi aku harus pergi bertugas besok. Kuharap kau tak merindukanku karena aku akan jarang bermain ke sini." Ia tersenyum. Kepala sang gadis ia letakkan di atas leher dan tubuh gadis lainnya yang berhasil ia eksekusi di malam sebelumnya. Dengan sedikit jahitan rapi, lelaki itu berhasil menyatukan kepala dan tubuh dua gadis yang berbeda seperti menciptakan manusia baru. Ia berdecak puas. Usai mensterilkan diri, pintu di ujung lorong itu ia segel dari luar sementara langkah kakinya mengarah ke kamar orang tuanya.

"Ayah, Ibu, aku membawa seorang gadis lagi ke rumah. Kuharap kalian akan menyukainya karena gadis yang kubawa kali ini benar-benar cantik. Jangan mengomeliku lagi, ya." Bisiknya di pintu kamar. Ia tak perlu masuk untuk menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan karena percuma saja, orang tuanya tak bakalan mendengar. Langkah selanjutnya adalah kamar sang adik. Ia ingat dua minggu lalu adiknya protes ketika ia membawa tiga gadis ke rumah dengan alasan gadis itu tak pantas untuk bersanding dengannya. Ia tersenyum puas karena yakin gadis yang ia bawa saat ini pasti akan meluluhkan hati adiknya.

"Dik, aku membawa gadis yang sesuai dengan seleramu. Kau akan menyukainya jika melihatnya besok, jadi tidurlah yang nyenyak malam ini." Bisiknya di pintu kamar adiknya. Usai memberikan pesan kepada masing-masing anggota keluarganya, lelaki itu berjalan menuju ruangannya sendiri untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya.

Menjadi psikopat memang tak pernah mudah.

TASTE || JWWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang