"Nes, mau keluar sama Abang?"
Jam dinding berdetak menunjukkan pukul 5 sore. Cuaca terlihat kurang bersahabat di luar, melihat angin yang berpusar ringan. Pepohonan dan dedaunan bergoyang mengikuti irama alam. Terlepas dari itu semua, jalanan Bandung masih tampak ramai dengan banyaknya kendaraan yang melintas.
"Gak perlu, Bang, itu tuh Floren udah nunggu main game, kan?" gadis itu tersenyum tipis. Ia kemudian mengambil sweater tipis biru navy dan memakainya. "Aku gak lama, Bang,"
"Bener nih?"
"Bang, aku menunggu loh!" seru Florenza, terlihat bosan di ruang game.
"Ck! ya udah, Nes, nanti tinggal telpon Abang aja ya," Bintang kemudian melesat hilang dibalik pintu.
Bintang melangkahkan kakinya keluar dari rumah peristirahatan yang memang dibeli mendiang Papa jika sewaktu-waktu diperlukan ketika berada di Bandung, kampung halaman Papa. Gadis itu menghela napas ringan, seraya memasukkan kedua tangannya dalam saku sweater.
Apapun itu, yang telah merasuki Ganesha sehingga membuat gadis itu keluar berjalan di Bandung saat cuaca buruk begini. Saat ditanya hendak pergi kemana oleh Bintang yang notabenenya adalah kakaknya, Ganesha hanya menjawab ia ingin berkeliling sebentar. Tapi nyatanya, gadis itu pun tak tahu kemana kakinya akan membawanya.
Rintik hujan mulai turun, menitik jalan sepatak yang dilalui Ganesha. Lambat laun, tetes air yang turun makin bertambah, membuat Ganesha segera mencari tempat berteduh.
Salahnya yang menuruti kemauan tidak jelasnya untuk keluar saat tahu cuaca sedang tidak baik. Salahnya pula yang tidak membawa payung atau suatupun benda yang dapat digunakannya sebagai penghalang dari hujan.
Dan, Ganesha takut petir.Kalau sudah begini, Ganesha rasanya ingin mengiyakan tawaran Bang Bintang untuk pergi bersama. Atau mungkin memaksa kembarannya yang gila game itu untuk menemaninya barang sebentar. Ah, lalu bagaimana sekarang?
Itu! akhirnya, Ganesha menemukan halte bus. Ia mempercepat langkahnya menuju halte, berniat berteduh menunggu hujan. Halte terlihat lumayan ramai, dan bukan hanya dirinya yang bernaung disana. Setidaknya Ganesha bisa menghela napas lega. Selain petir, ia benci kesepian.
"Sendiri, neng?" seorang Ibu paruh baya menyapa dengan senyum ramah.
"Ah iya, bu, cuma niat jalan sebentar tadi," Ganesha membalas dengan senyum lebar. "Ibu mau kemana?"
"Ini nunggu bus jurusan lembang, saya ingin mengunjungi anak saya sebentar," Ibu itu menoleh pada Ganesha, memperhatikan gadis itu teliti. "Kamu dari Jakarta?"
"Iya bu, benar," Ganesha mengangguk sopan.
"Pantas, lah! terlihat cantik dan bergaya perkotaan sekali,"
"Ah ibu, berlebihan sekali," Ganesha tertawa ringan. Tak berapa lama, Ibu itu telah pergi menanggalkan kakinya dari halte karena bus yang ditunggunya telah sampai. Sebelumya si Ibu tersenyum tipis.
Jalanan yang semula ramai perlahan sepi. Meskipun begitu, hujan masih tidak puas menumpahkan isi airnya di permukaan bumi. Ganesha melihat jam tangan yang melingkar di tangannya, pukul 6. Ia mulai khawatir lantaran hanya tersisa empat orang di halte. Dirinya, 2 remaja putri yang kiranya SMP, dan seorang cowok berpakaian rapi.
Ah. Petir mulai menyambar, terdengar menggelegarkan. Angin pun bertiup semakin kencang. Sementara itu degup jantung Ganesha tidak beraturan, ia merapatkan sweater tipis yang dikenakannya. Gadis itu kedinginan.
Lagi-lagi, petir terdengar bergemuruh di kejauhan. Ganesha memejamkan matanya dan menutup telinga dengan kedua tangannya. Terlihat sekali ia ketakutan.
"Tenanglah," sebuah suara menelusup dalam. Ganesha menoleh. Cowok berpakaian rapi itu berdiri di hadapannya, tersenyum tipis sekali. Hal yang tidak ia duga sebelumnya, cowok itu membuka tasnya dan mengeluarkan mantel abu-abu miliknya, dan memberikannya pada Ganesha yang mematung.
"Ng?"
"Kamu kedinginan," suara itu terdengar datar, namun menenangkan.
Tanpa banyak kata, Ganesha menyampirkan mantel itu di bahunya. Rejeki kan gak boleh ditolak ya, Nes? pikirnya saat itu.
"Takut petir?" pertanyaan itu dijawab anggukan oleh Ganesha. Ia terlihat sangat kaku. Jujur saja, ia tidak pernah berinteraksi dekat dengan lelaki, kecuali Bang Bintang dan sepupunya.
"Mau permen?" kemudian cowok itu menyuguhkan permen mint pada Ganesha. Sementara ia masih tak bergeming. "Tenang aja, gak ada narkoba dan hal semacamnya kok,"
"Terima kasih,"
"Ah, kayaknya gue harus buru-buru, lu boleh bawa mantelnya, semoga kita bertemu lagi," cowok itu berkata demikian dengan wajah datar, menepuk bahu Ganesha pelan, lalu menerobos hujan dengan langkah tergesa.
Ganesha masih diam. Ia berharap laki-laki itu menoleh lagi. Namun nyatanya, laki-laki itu terus berlari tak melihat ke belakang sedikit pun.
Lamunannya buyar ketika mendengar dering handphone-nya. Caller Id, BangAbang.
"Nesha? kamu dimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Be Brave?
Teen Fictionkebisuan yang mendekam dengan kejam, dibawah rembulan yang bersinar menderang. kemudian rasa itu menelusup dalam, tanpa seorang pun meminta. tiada jalan keluar dari ruang, terjebak dalam waktu. Menunggu. "Pas ditanya sama nyokap gue pacar lu atau b...