12- Kunci Loker

77 13 5
                                    

Semilir angin berhembus pelan, menerpa wajah Deefnie yang sedang terdampar di atas meja. Ia terlelap setelah jam terakhir kuliahnya selesai.

Gadis itu menggeliat malas, dengan headset tanpa musik yang terpasang di telinganya. Ruang kelas saat ini sudah kosong.

Deefnie membuka matanya pelan-pelan, daaan... langsung tersentak saat mendapati Emily tengah berdiri tepat di hadapannya. Tentu saja dengan lidah yang menjulur dan wajah pucat.

"Kaget tau nggak. Ada apa sih?" Deefnie bertanya sambil menyenderkan tubuh di kursi.

Seperti biasa. Em tidak berkomunikasi melalui kata, melainkan dengan mata. Sekalipun berbicara, artikulasinya gak jelas. Kehalangan sama lidah. Tapi anehnya Deefnie selalu bisa mengerti.

Emily mengarahkan sorot matanya ke arah pojok. Seakan menyuruh Deefnie untuk berjalan ke arah itu. "Ngapain ke sana?" Deefnie menolak menuruti suruhan Em, dia malah mendaratkan lagi pipinya di atas meja. Yang kemudian menghangat seperti ada yang meniupkan sesuatu.

"Du-uh, Em aku ngantuk. Jangan ganggu ah" Deefnie terduduk lagi. Kemudian menyiptkan mata dengan bibir mengerucut, melihat perubahan ekspresi Emily. Matanya melebar, atau tepatnya melotot menatap Deefnie lalu mengalihkan pandangan ke arah pojok lagi. "Jadi sekarang, kamu lagi maksa?" Deefnie menarik napas dalam. Ia menyerah, bangkit dari posisi nyamannya menuruti apa yang Em inginkan. Dia pergi ke pojok kelas.
Deefnie berdiri pasrah, membelakangi bangku usang yang selalu kosong dan terletak di paling pojok kelas "Terus-- sekarang apa?"

Emily menunjuk bangku itu,  menyuruh Deefnie duduk di sana.

Deefnie memiringkan wajah. "Kamu-- mau aku duduk di sini?" Em mengangguk. Tanpa ba-bi-bu Deefnie menuruti. Lagi-lagi angin berhembus, kali ini cukup besar hingga mampu menjatuhkan headset Deefnie, spontan ia memungutnya dari lantai. Tapi, ketika Deefnie membungkuk matanya menangkap sesuatu yang ganjil. "kunci?"

Kunci kecil itu terletak di bawah meja. Spesifiknya di dalam lubang kecil. Seperti sengaja disembunyikan, karna hampir tidak terlihat. Em menghampiri Deefnie. Dia berbisik halus. Mendengar itu, Deefnie diam. Tapi persekian detik kemudian berteriak nyaring.
"What? Ini-- kunci loker kamu?"
                                            *****
Sebuah mini cooper  berwarna coklat terparkir di depan rumah Deefnie. Wira baru saja pulang dari agenda pemotretannya setelah hampir 2 minggu meninggalkan rumah. Ehh... bukan hanya Wira yang pulang, Rasmi--juga.

"Spadaaa... pada kemana si?. Rumah sepi amat, udah kayak kubur--"

"Heh- itu mulut ya" Natalie, langsung memotong kalimat sompral Wira, disertai tepukan cukup keras yang bersarang pada bahu anak pertamanya itu.

Wira meringis, mengusap pukulan mama nya. Yang sebenarnya gak sakit-sakit amat, cuma perih.
"Ehh-- ada mama, maapkan daku deh. Abis kesel, diriku pulang tak ada yang menyambut" Wira berujar, sambil cengengesan gak jelas.

"Lebay kamu- kalau pulang bawa mantu, baru mama sambut dengan meriah"

Wira jadi mesem-mesem malu. "Calon ada kok Ma, entar aku bawa" jawab Wira enteng.

"Sebelum bawa calon, bawa aja dulu surat sidang kuliah" celetuk Wiguna, sambil melengos ke ruang tv.

Senyum manis Wira langsung raib setelahnya. "Papa ahhh... anaknya pulang bukannya disambut malah dihina" bibirnya mengerucut, so lucu dengan wajah sebal.

"Abis mukamu itu bullyable bawaannya pengen dihina mulu" jawab Papa, diikuti tawa keras yang menggelegar. Sontak membuat Wira semakin kesal.

"Pa! Aku tuh prodak papah loh, jangan giniin aku dong"

"Udah ahh lebay kamu, sini papa mau liat hasil fotomu" walau sikapnya agak menyebalkan, tapi percayalah papa Deefnie itu sangat menyayangi anak-anak nya.

Wira dengan antusias menghampiri papa nya, duduk di sofa ruang tv. Menyerahkan album tebal yang ia keluarkan dari dalam ransel besar yang lebih mirip tempurung kura-kura ninja. Sementara Mama menghidangkan teh hangat, dan sepiring cookies coklat favorit Wira di atas meja.

"Thanks ma"
                                           *****

Deefnie melangkah lemas dari luar kelas, melirik jam di lengannya kemudian kembali fokus ke depan. Matahari sudah mulai meninggi, mahasiswa kelas siang juga sudah mulai berdatangan.

Deefnie menguap lebar. Menunggu dengan sabar angkutan umum untuk pulang ke rumah. Sesekali ia menatap kunci kecil yang ia simpan di bagian depan tas. Ya kunci loker Emily.

Mengapa tiba-tiba Em memberikan ini padanya? Setelah sekian lama saling berinteraksi? Apakah Emily ingin Deefnie  membantunya? Pertanyaan- pertanyaan absurt satu persatu bergantian muncul di pikirannya. Deefnie penasaran, ia terus memikirkan Emily. Sampai suara klakson angkot menariknya dari lamunan. Kebetulan itu memang angkot yang harus dinaikinya. "Kompleks Havana ya Bang" si Abang mengangguk, dan angkot pun melaju.

                                            *****
Deefnie membuka pagar rumahnya. Dan kembali menutupnya dengan cepat. Dia kebelet. Tapi langkahnya terhenti setelah melihat mobil abangnya di garasi. "Asoy! Rasmi udah pulang ehh bang Wira udah pulang" sorak nya girang. Ini saatnya Deefnie menyusun strategi untuk mulai mengintrogasi Rasmi kan? Deefnie mempercepat langkahnya ke dalam rumah. Tapi, niatnya pupus karena si mahluk transparan Dirga. "Ehh. Wangi lavender"
"Dirga?"

"Iye! Ini gue, nggak lupa sama janji lu kan?"

Deefnie meremas pelan jemarinya yang tadinya akan dia gunakan untuk membuka pintu rumah. Ia teringat akan kata-katanya kemarin malam, ralat ia teringat akan janji yang ia buat. Terpaksa, ehh dengan suka rela Deefnie melupakan keinginan buang air kecilnya dan memutuskan untuk segera pergi bersama Dirga.

"I-ya" dengusnya dengan wajah pasrah.
"Ayo ke SMA Ugasa, sekarang!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 22, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sixth Sense (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang