"Tika, kita berangkat jam empat, ya?" Kata Bu Yanti sambil memasuki rumahnya.
"Oke, Bu." Kartika juga masuk ke rumah dinasnya sambil tersenyum. "Kali ini harus menang, biar masuk semi final. Iya, kan Michan ?" Ia mengelus kucing tiga warna kesayangannya. Kucing itu mengeong manja seakan mengerti topik pertandingan bola voli antar kampung yang diikuti Kartika.
Beberapa bulan setelah kejadian itu, Kartika mulai antusias mengikuti banyak kegiatan di lingkungannya. Mulai dari bergabung dengan klub voli ibu-ibu kampung, bulutangkis, senam gembira sampai sekadar kumpul-kumpul memasak bersama ibu-ibu dan remaja di situ.
Kemampuan bola volinya cukup lumayan sebagai pendatang baru. Kartika cukup senang meskipun hanya dipasang sebagai anggota cadangan yang sesekali turun lapangan. Tapi untuk bulutangkis ia cukup jago walaupun hanya tingkat kecamatan.
Sejak hari sial yang menguras air matanya itu, ia bertekad untuk bangkit dan tersenyum. Ia merasa sudah cukup tenggelam dalam penyesalan yang tak berujung.
"Lihatlah matahari yang cerah itu, Michan," kata Kartika pada si kucing kecil. Ia mengarahkan wajahnya pada bayang cahaya yang masuk di jendela kamarnya. "Hmmm... Hangatnya bikin bersemangat."
Kartika tidak lagi ingin memikirkan pandangan masyarakat tentang keperawanan dan sejenisnya yang hanya akan membuatnya terpuruk lagi. Ia yakin masih banyak hal berguna yang ia bisa lakukan baik untuk dirinya maupun orang lain tanpa menyinggung-nyinggung tentang soal itu.
Ia sudah pernah mencintai satu orang dengan tulus dan dalam. Itu sudah cukup. Urusan rindu yang kadang menyelinap di hatinya ia tak bisa elakkan, tapi hanya sebatas rindu. Ia sadar hampir tak mungkin lagi ia akan kembali atau bahkan bertemu pada dia yang pasti sudah membencinya.
Kartika hanya ingin menjalani ritme hidupnya senyaman mungkin, sampai pada saat ia akan menemui cinta lain yang tulus menerima dirinya yang tak utuh lagi. Dan ia pun sudah siap bila saat itu tak akan pernah datang. Kartika sudah siap.
Tapi sekarang ia tak ingin dekat dengan laki laki manapun.
Ia tahu ada beberapa laki-laki yang berusaha mendapatkan perhatiannya. Tapi ia belum siap. Seperti yang pernah disebutnya, ia sedang tidak ingin dekat dengan laki-laki manapun.
"Michan, sini. Ayo, ini makananmu." Ia mengelus si kecil yang dulu ia temukan kurus kering terpisah dari induknya.
Ia ingat nenek Marti yang sering memperingatkannya jika ia mulai bermain-main dengan beberapa kucing liar di rumah besar itu. "Tika, ayo sudah. Cuci tanganmu. Kena tokso kamu nanti kebanyakan main sama mereka."
Hmm, Nenek. Kangen sekali padanya. Seperti kangen pada ayah dan ibunya yang menikmati masa pensiun jauh di kampung halaman mereka sambil berkebun.
Meski kangen, Kartika sadar ia tak bisa terlalu sering mengunjungi nenek Marti. Itu sama saja dengan mendorong diri masuk ke godaan. Godaan untuk kembali mengingat dan mendengar tentang dia.
Sejauh ini ia hanya beberapa kali bertemu nenek Marti. Ketika dia mengunjungi sekolah-sekolah miliknya, yang walaupun terletak jauh dari keramaian tapi punya kualitas dan prestasi yang cukup bagus.
Dan terakhir kali saat ia diminta datang untuk menemani nenek Marti berbelanja ke Palembang. Kartika sempat ketar-ketir kalau saja nenek Marti akan menemui si kecoak busuk itu untuk urusan perkebunan, tapi untungnya tidak.
"Tika, Nenek sangat mengerti kalau kamu enggan datang ke rumah. Tapi sering-sering telpon nenek yang kesepian ini, ya ?"
Kartika jadi tidak enak hati. Ia sampai melupakan tentang kesepian wanita yang dulu ia sering temani.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher and The Heir
Genel Kurgu(COMPLETED) Bima, yang tak terkontrol lagi kehidupannya, diungsikan orangtua ke kampung halaman neneknya. Di situ ia harus menuntaskan SMA jika masih ingin diakui sebagai pewaris tunggal keluarga. Merasa paling segalanya, ia terus berulah di sekolah...