Semua orang pasti punya mimpi. Begitu pula denganku. Mimpiku adalah menjadi pelukis terkenal. Dan aku yakin itu akan tercapai jika aku berusaha.
Oh, iya ... aku ini gadis yang pecicilan. Tak bisa diam. Aku sangat tertarik dengan benda-benda yang bernilai seni. Lebih tepatnya terobsesi. Aku juga punya seorang sahabat, namanya Reina. Gadis itu selalu kesepian sejak kecil, hingga aku mendatanginya, dia menjadi berwarna.
Orang bilang aku adalah pembawa warna. Karena setiap orang yang mendekatiku maka akan terkena cerianya olehku. Nah, sebagai contohnya si Reina.
Reina itu anaknya setia kawan. Dia itu most wanted sekolahan. Cantiknya kebangetan, udah melebihi kapasitas penumpang-eh. Bagaimana caranya aku bisa berteman dengan Reina? Oh, itu mudah saja. Aku hanya menjadi real friend. Bukan fake, lho ya.
Aku juga tidak mengerti bagaimana Reina bisa menerimaku. Padahal, dengan orang lain dia sangat dingin dan ketus. Kecuali denganku dan beberapa teman lainnya.
Okeh, ini sudah melencong dari topik. Dan ... ini saatnya untuk sekolah!
🎨
Aku tak menyangka aku datang sepagi ini. Tapi, ya ... aku 'kan orang yang rajin, hehe.
"Altaniaaaaaa!" Dan satu hal lagi yang harus kalian mengerti. Sahabat-sahabatku memanggilku Altania.
"Oh, Dinda, Fira, dan Zahra? Tumben banget kalian datang pagi."
"Iya, tuh! Gara-gara Dinda yang ngebangunin pagi banget!" cetus Fira sambil menunjuk-nunjuk Dinda.
"Lho, kok aku?"
"Iya, kamu! Kamu suruh siapa bangunin aku pagi-pagi sih?!" Fira terua menggebu-gebu sampai-sampai Zahra harus turun tangan.
"Kalian kayak anak kecil aja! Udah buruan masuk!" kata Zahra gregetan. Dengan pasrah mereka memasuki kelas.
Aku duduk bersama dengan Dinda di kursi pojok kanan. Di sana posisinya sangat leluasa. Karena kita bisa nyontek, juga melihat pemandangan di luar jendela.
Karena masih ada waktu untuk masuk, aku memilih untuk menggambar. Mengeluarkan sketch book-ku dan mulai membuat pola. Aku hanya menyalurkan imajinasiku kepada selembar kertas. Dan perlahan-lahan, bagian-bagian yang sudah kubuat, kusatukan, dan menjadi sebuah bagian yang utuh.
Dinda, yang duduk di sampingku sesekali melirik. Mungkin dia penasaran. Aku tak ingin memukirkan itu. Saat ini, semua duniaku tertuju kepada selembaran kertas. Penaku terus menoreh di sana.
"Ta."
"Hmm."
"Ta, kamu lagi buat apaan?"
"Gambar."
"Iya, aku tau kok. Gambar sih, gambar, tapi kenapa wujudnya nggak jelas gitu, ya?"

Lihat perkataan menjengkelkan darinya sekarang. Dia membuatku bad mood! Aku tahu aku tak bisa menggambar, tapi setidaknya bilang bagus gitu. Kenapa Dinda jahat sekali.
"Diem, ah!"
Bukan salahku tak bisa menggambar. Salahkan saja kepada penaku yang tak bisa menggambar dengan bagus.
🎨
Akhirnya bel istirahat berbunyi. Aku tak menyangka waktu berjalan dengan sangat cepat. Lalu kemudian, aku dan teman-teman memutuskan untuk ke kelas Reina, lalu ke kelas Mas Riza.
Kalian pasti belum mengenal dengan Mas Riza, ya? Mas Riza itu kakak kelas di gengku. Dia sudah S4 dan sebentar lagi lulus. Orangnya perhatian, tulus, dan penyayang,juga taat kepada Tuhan. Dia itu sangat, sangat protektif dan terlalu berlebihan ketika Reina terluka atau dilukai. Sudah seperti bodyguard saja.
Sempat aku berpikir bahwa Mas Riza punya rasa kepada Reina. Tetapi, setelah aku bertanya kapadanya, dia hanya bilang, "Nggak kok. Mas cuman sayang sama Reina sebagaimana sayangnya seorang kakak-beradik. Soalnya dulu mas punya adik, tetapi dia sudah tenang di sana." begitulah balasan dadi Mas Riza. Aku tak enak membahasanya. Ia pasti sangat terpukul kehilangan adiknya.
Dan sejak pertama kali bertemu dengan Mas Riza. Dia tak pernah memberitahu nama lengkapnya. Dia selalu punya alasan untuk menghindari jawaban dari pertanyaan itu.
"Alta? Kok bengong aja sih! Ayo, ke kelas Reina," kata Fira menyadarkanku.
"O-keh."
Dan setelah itu, kami berempat beranjak menuju kelas Reina. Reina di kelas hanya bersama Aulia, dan Nadia saja. Sedangkan, Mas Riza dan Bian itu beda lagi. Dan aku yakin jika kelas Reina sedang penuh oleh para fans.
"Kak Reina, selfie dong sekaliiii aja!"
"Kak Aulia minta tanda tangannya dong!"
"Nadia main, yuk!"
"Reina ke kantin bareng, yuk! Nanti aku teraktir kok!"
Tuh 'kan, belum sampai di depan pintunya saja suara khas para penggemarnya terdengar. Dan aku yakin mereka akan terpecah menjadi dua bagian. Yang satu di sana, dan satu lagi---
"Eh, ada Kak Zahra, Kak Alta, sama Kak Dinda, gaes!"
"Mana?!"
Apa kubilang. Okeh, sekarang saatnya ...
"..., kabur!!!"
"Eh, Alta tungguin gue," teriak Reina dari jauh.
"Wait me!" kata Aulia dan Nadia serempak.
Dan terjadilah sebuah adengan kejar-kejaran. Sampai akhirnya aku dan teman-temanku terpojokkan. Aku melihat mata mereka berbinar-binar. Mereka seperti predator sungguh!
"Astagfirullah!!!" pekik Nadia ketika melihat segerombolan adik kelas yang siap menerkam.
"Baca ayat kursi buruan!!!" titah Aulia.
"Nggak ada sejarahnya cewek nodain cewek! Nggak ada!" kata Zahra dramatis.
Aku kemudian memutar otak. Mencoba mencari cara agar bisa bebas dari terkaman para harimau lapar ini. Coba deh kalau ada Sherwin. Eh, tunggu, tunggu ... bukannya itu Sherwin, ya? Wah, bagus nih! Bisa mengalihkan perhatian mereka.
"Eh, itu ada Sherwin!"
"Jangan bercanda deh, Kak. Kami udah tau trik murahan Kakak, lho."
"Dih, peak itu beneran si Sherwin!" kata Aulia.
Pertama-tama tak percaya, sampai akhirnya salah satu dari mereka menengok dan berteriak histeris. "Kak Sherwin!!!"
Dan seperti yang sudah kurencanakan tadi, mereka semua menuju arah Sherwin dan mengejarnya. Dan ketika itu, aku merasa bersalah. Harusnya aku tak seperti itu sama Sherwin, 'kan? Yah, sudahlah, urusan nanti dipikirkan nanti saja. Yang penting ... selamat.
🎨
KAMU SEDANG MEMBACA
[TLT] Oh, My Teacher!
Teen FictionMempunyai guru yang tajir, tampan dan gentle, tapi killer, apakah kamu pernah merasakannya? Seorang Altania, penyuka seni yang tak sengaja di pertemukan oleh seorang pria tampan yang menjadi gurunya.