AKU melangkahkan kaki yang terasa begitu ringan dengan senyum tak berhenti. Sesekali aku meloncat kecil beriringan dengan kikik yang keluar dari mulut tanpa bisa kutahan. Kutatap dua buah undangan bewarna putih pucat yang sedari tadi kupegang hati-hati. Siang ini, seperti hari-hari biasanya pada musim kemarau, terik matahari menyengat bersemangat. Jalanan aspal terasa panas hingga menembus sepatu hitam dengan warna hampir memudar yang kukenakan. Itu sebab mengapa meskipun aku masih berumur sebelas tahun, telapak kakiku sudah memiliki benjolan-benjolan kasar yang menyebalkan (ayah bilang namanya kapalan dan ini adalah pertanda bahwa aku memiliki kaki yang kuat. Tapi tetap saja sebagai perempuan aku merasa ini hal yang memalukan).
"Aruna!" Sebuah teriakan membuat langkahku terjeda, berbarengan dengan toleh kepala ke belakang.
Anak laki-laki dengan sepeda birunya tersenyum ke arahku. Aku membalas dengan lambaian tangan. Aku menunggu beberapa saat hingga laju sepedanya berhenti tepat di hadapanku.
"Aku tadi dikasih buah rambutan sama bapak-bapak disana!" Dirga, anak laki-laki tersebut, bercerita penuh semangat. Tangannya menunjuk ke belakang, membuat mataku mengikuti arah telunjuknya.
Aku nyengir. Kemudian kusodorkan tangan mungilku ke arahnya. "Buat aku mana?" Dirga terkekeh sebentar. "Udah abis," jawabnya tanpa nada bersalah. Aku mendengus bercanda. Berbalik dan kembali melangkah, kali ini ditemani Dirga yang menuntun sepeda.
"Kamu ngapain ngeliatin undangannya terus? Seneng banget besok mau perpisahan ya?" Dirga menatap undangan yang tak lepas dari genggamanku. Senyumku kembali mengembang lebar. "Kamu tau kan besok aku jadi putri di drama?" tanyaku penuh antusias.
Dirga mengangguk. "Padahal aku pengen jadi pangerannya," lirihnya dengan suara yang masih bisa kudengar.
"Besok ayah sama ibu bakal dateng dan ngeliat aku jadi putri! Ngebayangin aja udah seneng banget!" Suaraku terdengar lantang disusul tawa kegembiraan. Dirga ikut tersenyum melihatku.
Langkah kami berbelok di persimpangan jalan. Rumahku sudah terlihat dari ujung jalan sini. "Nanti sore main yuk?" ajak Dirga. Aku menggeleng kuat-kuat. "Nanti malem kak karina pulang dari asrama. Aku mau bantuin ibu masak buat kak karin." Dirga mengangguk kecewa. Aku menepuk bahunya. "Bentar lagi kan kita libur panjang. Bisa main terus tiap hari." hiburku yang dibalas anggukan gembira oleh Dirga.
Kami sampai di depan rumahku. Aku membuka pagar kemudian menatap Dirga, melambaikan tangan. "Dadah, sampai ketemu besok!" ucapku. Dirga menaiki sepedanya, tersenyum dan membalas lambaianku. Ia lalu mengayuh pelan menuju rumahnya yang hanya berjarak 100 meter dari rumahku.
"Ibuuuu Runa pulaaang," teriakku saat menginjakkan kaki di dalam rumah. Dingin menyeruak telapak kakiku saat menyentuh lantai keramik. Eh, ibu kemana? Biasanya saat aku baru membuka pintu, ibu akan langsung tahu dan datang menyambutku. Aku berjalan pelan ke kamar ibu, menengok ke dalam sebab pintunya memang terbuka. Eh, tak ada orang?
"Ibu?"
Aku mencoba mencari ibu di dapur, kamar mandi, gudang, garasi, dan seluruh penjuru rumah. Namun hasilnya nihil. Ibu tak ada. Dan yang aneh adalah, jika ibu memang ada urusan yang mengharuskannya keluar rumah, dia tak akan pernah lupa untuk mengunci pintu lalu menitipkannya di tante gina, tetangga yang tinggal di seberang. Tapi hari ini aku pulang ke rumah yang kosong dan tak terkunci.
Aku termenung beberapa saat sampai akhirnya memutuskan untuk berganti baju. Dua buah undangan yang tadinya ingin segera kuberikan pada ibu, kutaruh di atas meja di samping tempat tidur. Senyumku kembali tersungging membayangkan hari esok. Ah, mungkin besok akan menjadi hari paling bahagia dalam hidupku. Membayangkannya saja membuatku merasa ada ribuan kupu-kupu yang beterbangan di perut, yang kemudian menjalar ke dada, lalu kepala.

KAMU SEDANG MEMBACA
Seorang Bocah yang Tak Kunjung Mengetuk Pintu
RandomPenyesalan terbesar dalam hidupku adalah: aku berpikir terlalu lama untuk sekadar mengetuk pintu.