Seingatku, bapak bukanlah orang yang sering menunjukkan kelelahannya kendati setiap sore melihat bajunya yang banjir oleh keringat seperti terguyur hujan deras adalah pemandangan yang terlampau lumrah. Beliau selalu tampak gagah dengan alis tebalnya yang terlihat tegas, juga tubunya yang begitu kokoh seolah jika nanti sekutu tiba-tiba menyerang kembali, raganya selalu siap sedia untuk menerjang. Akan tetapi kala itu, saat lembayung senja masih memayungi beberapa orang dengan kaus lusuh serta lilitan sarung pergi menuju surau, sesekali melempar sapaan yang hanya bapak balas dengan anggukan, dan ditemani pipa merah tua di antara kedua belah bibirnya, aku menangkap gurat kelelahan yang luar biasa pada kedua sorot mata Bapak.
Bapak tidak mengatakan apapun perihal hal tersebut, hanya terdiam dengan tatap mengawang, mengisap lamat-lamat pipa di selipan jari, memilih abai pada sekitar, begitu pun aku yang baru saja bermain layangan dengan Yusmo di lapangan dekat sawah Pak Sudrajat, juga ikut terdiam.
"Orang jujur itu seperti emas, Jo," ucap bapak sekonyong-konyong membuatku menoleh.
Aku termenung sejenak, merasa begitu kebingungan, lantas hanya menunggu penggalan kalimat yang barangkali masih tertinggal di ujung lidah Bapak untuk keluar. Namun Bapak tidak mengatakan apapun lagi sementara aku mendadak kehilangan suara. Selagi aku mulai menyadari kerutan di dahinya semakin bertambah, kepulan asap putih kembali menggelontor di udara, kali ini mengantarkan aroma asing, aroma seperti bau tanah basah yang baunya kian pekat tatkala Bapak menoleh untuk melempar senyum tipis sebelum berlalu sembari mengusap puncak kepalaku pelan yang sebagaimana aku pahami beberapa minggu setelahnya, itu adalah bau kematian, seakan malaikat maut sudah memercikan pertanda pada raga Bapak jauh-jauh hari sebelumnya.
Akan tetapi, hal yang lebih menyakitkan dari kepergian Bapak adalah bagaimana hari-hari sebelumnya melihat badan ringkih Bapak berkali-kali terempas ke lantai sebab dorongan orang-orang tak beradab yang menggedor pintu sembari mendedau nama Baskoro dengan nada paling rendahan yang pernah aku dengar. Aku tak kuasa menyaksikannya. Hatiku seakan tersobek-sobek melihat pemandangan itu. Wajah-wajah garang bak tokoh antagonis pewayangan yang sering aku dan teman-teman lihat itu belakangan ini kuketahui adalah kaki tangan Pak Siswono—rentenir paling tesohor di kampung.
Peristiwa yang berkelindan tersebut seakan menjawab tanya yang kini tak akan pernah bisa aku suarakan. Usaha bapak bangkrut. Pekerjanya banyak yang berbuat curang. Penggelapan uang begitu lancar berjalan di luar penglihatan Bapak dan meskipun begitu, setelah semua carut-marut yang seolah mendorong bapakku Baskoro ke tepi jurang, Bapak masihlah orang dengan hati yang luasnya melebihi sabana. Bapak masih mentolerir kesalahan beberapa pekerja yang menurutnya tidak terlalu merugikan dengan dalih mereka adalah tulang punggung keluarga.
Hingga saat-saat terakhirnya, Bapak hanya mengatakan, orang jujur itu seperti emas, Jo. Dan aku ingat betul bagaimana tulang pipinya tercetak jelas, senyumnya yang begitu lemah, serta sinar wajahnya perlahan meredup kala mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang terpatri terlalu dalam di otakku dan tak pernah sehari pun aku lupa bahkan ketika aku sudah merantau ke Surabaya dengan Yusmo sahabat karibku untuk mengadu nasib.
Di Surabaya, nasib baik mengantarkan aku dan Yusmo menjadi salah satu pekerja toko sembako yang di antara toko lainnya adalah yang terbaik di Pasar Turi. Pemiliknya bernama Ko Ah Feng, lelaki senja bermata sipit yang rambutnya sudah habis dilahap warna putih yang sebagaimana aku ketahui setelah beberapa bulan bekerja di tokonya, ia punya kebiasaan merajut saat waktu luang. Waktu senggang itu sering Ko Ah Feng dapatkan ketika tubuhnya yang kian bungkuk sudah tidak bisa berkompromi dengan kesibukannya sebagai pemilik toko, dan kalau sudah begitu, bakalan menyuruhku untuk menggantikannya sementara.
Namun barangkali kalimat dari Bapaklah tentang kejujuran yang selalu aku utamakan di keseharian yang mengantarkanku pada hari baik dimana kesempatan untuk benar-benar mengelola sepenuhnya toko Ko Ah Feng datang, menggantikan beliau yang kesehatannya sudah semakin mengering.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manifestasi Auri ✓
Short Story❝ Orang jujur itu seperti emas, Jo. ❞ (new ver.) ©hidrolisis | 2018