KEHILANGAN

10 1 0
                                    

Namaku Fauzi. Kebanyakan orang memanggilku Ozy. Kata sebagian orang di kampungku, nama itu bermakna kemenangan. Namun sampai saat ini, aku sendiri tak pernah tahu kemenangan seperti apa yang dimaksud. Aku mencoba bertanya kepada orang-orang kampung, tak ada yang bisa menjawab. Bertanya pada Simbah, percuma. Bagi Simbah, Fauzi hanyalah sebatas label untuk bisa memanggilku, sama seperti ketika ia memanggil Bejo untuk satu-satunya harta yang ia miliki, kambing jawa peninggalan suaminya.

Aku terlahir dari seorang perempuan yang kurang waras. Mungkin hidupnya terlalu keras, atau bisa jadi orang-orang di sekelilingnya terlalu ngragas. Ah, ibuku adalah saksi dari kehidupan yang culas. Memandangnya nampak seperti melihat pohon mahoni yang meranggas di puncak musim kemarau. Seolah mati tapi nyatanya ia hidup. Hidup yang kosong.

Setiap hari yang ia lakukan hanya bertura-tura, menceracau, dan mencerabih. Ia hobi sekali berteriak dan menangis histeris. Tangisannya seperti lolongan anjing di penghujung malam. Pilu dan menyayat hati. Di lain kesempatan, ia akan tertawa terbahak-terbahak. Tawanya membahana seperti anak kecil yang digelitiki ayahnya.

Siapa pun yang belum pernah mengenalnya akan bergidik apabila ia sudah mulai bersuara. Namun bagiku dan Simbah, segala keributan yang dilakukannya lebih melegakan ketimbang ia diam. Suaranya menjadi alarm bagi kami bahwa ia baik-baik saja.

Pada hari paling bedebah dalam hidupku, aku dan Simbah meninggalkannya di rumah seorang diri. Ia sedang pulas tertidur. Kami berniat mencari daun singkong untuk teman makan malam. Aku tak mungkin membiarkan Simbah ke kebun seorang diri. Nenekku itu sudah terlalu sepuh.

Belum sampai tujuan kami, salah seorang tetangga dengan napas tersengal-sengal berlari mengejar.

"Warsih kabur, Mbah!" lapor Kang Tarjo yang kebetulan rumahnya berada tepat di samping rumahku. Bibirnya sedikit pias dengan peluh membanjiri mukanya. Aku yakin ia mengejar kami sekencang ia bisa.

Aku dan Simbah urung ke kebun. Dengan terburu-terburu kami membelok arah. Mencari ibu dengan petunjuk warga kampung. Tak sedikit yang mambantu, berteriak-teriak memanggil nama ibu. Nihil. Tak ada sahutan.

Aku dan Simbah terus berjalan, tak peduli dengan nasihat warga kampung untuk segera pulang. Senja telah menghadang, sebentar lag petang.

Entah sudah berapa puluh kilometer jalanan yang kami tapaki, ibu tak juga terlihat. Jalanan mendadak lenggang. Hanya ada deru napasku dan Simbah yang bekejaran. Suara-suara klakson dan deru mesin yang sesekali melintasi kami serupa hembusan angin selintas.

Di ujung batas kampung, aku dan Simbah berhenti. Duduk menggelesot di tepian jalan. Beruntung ada pohon trembesi di belakang kami duduk. Dahannya yang memayung memberi sedikit kesejukan. Aku dan Smbah masih sama-sama diam. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing.

Usiaku waktu itu baru sebelas tahun. Aku tak tahu usia Simbah, yang jelas wanita yang rambutnya sudah dipenuhi uban itu sering bercerita ketika masa perang kemerdekaan ia sudah bisa mencari kayu bakar. Ia sering menceritakan bagaimana ia akan lari tunggang langgang ketika mendengar suara tembakan dan meriam.

Dua manusia, laki-laki yang belum balig dan nenek tua renta. Tak banyak yang bisa kami lakukan.

Kau tahu apa yang paling menyakitkan di dunia ini? Kehilangan tanpa permisi.

#TantanganJuniForsen
#Humanis
#Day1
#Celotehku

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 19, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

IBU (TIDAK) GILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang