Bagiku, apa yang sudah terjadi biarlah terjadi. Kita tidak perlu berlarut-larut menyesalinya. Mungkin, setiap rasa yang bersemayam di dalam hati ini tidak selalu harus diungkapkan oleh kata. Mungkin, setiap orang yang pernah dicintai juga tidak selalu harus berakhir dengan memilikinya.
"Huft..." aku mendegus pasrah mendengarkan perkataan ayahku yang sedang berbicara lewat telepon.
Bagaimana kabarmu dengan Rindu?
Ya, begitulah.
Aku memutarkan mataku dengan malas.
Secara fisik, kami baik-baik saja. Bagaimana dengan Ayah?
Minggu depan Ayah pulang dengan Mama Keyla. Kami sudah merencanakan untuk menikahkanmu dengan Dion.
Apa?! Menikah?! Ah... Nggak-nggak. ayah nggak boleh menikahkan aku dengan Dion! Dia itu bukan lelaki tipeku!
Kamu tidak boleh membantah Ayah!
Tapi... Aku belum siap, aku nggak cinta sama dia! Kenapa sih Ayah tuh maksa-maksa aku terus! Aku ini udah dewasa, aku bisa memilih, aku berhak memilih!
Tut... Tut...
Panggilan terputus.Aku hanya terdiam lemas. Ponselku ku lemparkan ke atas kasur. Aku menjatuhkan diriku ke lantai. Menangis sederas mungkin meratapi nasibku yang malang.
Aku melirik Rindu yang sedari tadi menatapku penuh kebingungan "Kakak kenapa?"tanya Rindu.
Aku hanya menjawabnya dengan menggelengkan kepala.
Rindu pun melangkah mendekatiku, lalu duduk bersamaku di lantai. "Bentar lagi aku sekolah SD kan, kak?"
"Iya, besok kak Senja antar kamu ke sekolah baru," ucapku sembari memasang senyum yang ku paksakan.
Tiba-tiba suara parau seseorang mengagetkan kami yang sedang duduk di bawah. "Biar aku yang bayar sekolahnya Rindu." Ucap seseorang itu, lalu langkahnya pun semakin dekat ke arahku. Aku mendongakkan kepala melirik ke arah orang tersebut.
Dion?
"Nggak usah!" Tegasku.
"Udahlah, jangan nolak rezeki."
Aku mendengus kesal. Lalu beranjak, menatap wajah Dion dengan penuh kesal. "Apa?!Rezeki kamu bilang?ngasih dengan imbalan itu? Mengasihi kami tapi ada maunya, kan?!"pekikku.
Dion meraih puncak kepalaku mengelusnya perlahan. Namun, aku menyingkirkan tangganya dari kepalaku.
Dion menghembuskan napas pelan. "Senja, kamu itu kenapa sih? Aku nggak gitu kok, kamu jangan su'udzon gitu ah gak baik."
Rindu yang memperhatikan kami malah terdiam sembari celingak-celinguk kebingungan.
"Ta-tapi, kan nyatanya emang gitu." Lirihku. Tak terasa, air mata jatuh dari pelupuk mataku. Aku benar-benar sudah tidak tahan. Aku tidak mau menikah dengan orang yang tidak pernah kucintai sedikit pun.
"Aku janji, aku nggak bakal ngecewain kamu." Dion menghapus air mata yang mengalir membasahi pipiku. Lagi-lagi, aku menyingkirkan tangannya dari pipiku.
"Please, beri aku kesempatan. Kamu akan terbiasa denganku. Percaya padaku, Senja." Ucapnya lagi. Namun aku masih terdiam, memikirkan setiap perkataan Dion.
Rindu yang melihat kami pun akhirnya beranjak pergi dari kamarku.
Kini, aku hanya berdua bersama Dion. Lelaki itu menatapku serius.
"Kamu mau kan ngasih aku kesempatan?"tanyanya. Ia menggenggam tanganku, semakin ia eratkan.
Aku mengangguk pelan, menghembuskan napasku pasrah. Berharap, segalanya cepat berakhir. Berharap bahwa Dion memanglah bukan sebuah takdir.
"Youre better and fine with me. Believe me."
Dion meraih Puncak kepalaku, mengelusnya secara perlahan.
Kali ini aku tidak memberikan perlawanan, aku bisa sedikit menerima perlakuan Dion kepadaku.Lelaki itu pun tersenyum kepadaku. Menatapku dengan sangat lekat, ia meraih tengkuk leherku, lalu menjalar menuju pipi dan daguku. Mengelusnya secara perlahan.
Aku hanya tersenyum kecil.
"I love you," satu kalimat terlontar dari bibir Dion. Aku melihat, Dion memang sangat mencintaiku.
Mungkin, ia menjamin masa depanku dan Rindu akan jauh lebih baik jika aku mau menjadi istrinya. Mungkin, aku akan mendapatkan perhatian dan peduli yang aku idam-idamkan dari seorang manusia.
Bahkan, mungkin saja aku dapat merasakan sesuatu yang dinamakan cinta seperti kebayakan orang.
Ya, mungkin saja.
Dion masih menatapku lekat. Semakin lama ia menatap, perlahan mampu menenggelamkanku dalam setiap buaiannya.
Aku tertunduk sedikit gugup.
"Will you merry me?" tanya Dion.
Kalimat itu membuatku mengerutkan kening. Aku memang belum siap, apalagi usiaku masih tergolong terlalu muda untuk menikah.
Aku menggeleng pelan "Bukan sekarang waktunya, mungkin satu atau dua tahun lagi."Jelasku pada Dion.
"It's okay, asal kamu mau menikah denganku?"
Aku menghembuskan napas kasar. Mengiyakan perkataan Dion.
Aku melihat Dion tersenyum sumringah. Sepertinya, ia sangat bahagia walau hanya mendengarku mengiyakan pernyataan cintanya kepadaku. Walaupun sampai sekarang, aku belum yakin jika suatu saat aku akan mencintai Dion. Laki-laki genit, yang memang bukan tipeku sedari dulu.
"Rasanya aku ingin lenyap dari muka bumi,"batinku.
Masih dengan senyum sumringahnya. Dion memeluk tubuhku dengan erat. Namun, perasaan ini masih kaku. Aku tidak merasa ada sedikit saja kenyamanan diantara kami. Rasanya hambar, aku tidak mengaguminya atau bahkan hingga munculnya perasaan nyaman dan sayang kepadanya.
Hallo~ ga kerasa yaa ceritaku udah sejauh ini :) jangan lupa vomments yaa... Thanks u.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Cerita Rindu untuk Senjani[Terbit||GuePedia2019]
RomansaBeberapa kali highest rank in #puitis [Terbit oleh Guepedia] [Sebagian cerita ini belum di revisi, harap maklum apabila ada kesalahan ketik] Maaf. Hanya kata itu yang selalu terucap dari bibirku. Hanya kabar dari senja yang kuberikan untukmu. Caha...