Jingga menggantung di langit, mengiringi sang mentari kembali ke peraduan. Namun, Yui tetap tak beranjak dari duduk. Gadis itu masih duduk bersandar pada pohon, di atas bukit di sudut kota.Pikiran gadis itu berkelana, kembali ke masa lalu. Dulu bukit itu adalah tempat favoritnya bersama Sakou. Dan pohon tempat ia bersandar, merupakan saksi bisu sepenggal kisah mereka di masa lalu.
"Masih menantinya, hm?" suara seseorang membuat gadis itu tersadar dari lamunan.
Yui hanya mengangguk, tak berniat menjawab ucapan sang kakak. Kento hanya menghela napas, kemudian mengambil tempat di sebelah sang adik.
"Tak ingin berhenti menjadi seorang penanti, hm?" Pemuda itu menatap adiknya prihatin. Sudah tiga tahun, Yui setia menjadi seorang penanti. Lebih tepatnya, menanti sesuatu yang mustahil. Karena Sakou--sosok yang dinantinya--sudah tenang di alam lain.
"Kenapa harus berhenti? Bukankah setiap kita adalah penanti?" gadis itu berbicara tanpa menatap sang kakak.
"Kau salah, tidak semua orang menjadi penanti. Contohnya aku, aku hidup tanpa menanti apapun." Ucapan Kento membuat Yui menoleh pada pemuda itu.
"Kau yakin?" Gadis itu menyipitkan matanya.
"Tentu saja." Kento menjawab dengan sangat yakin, membuat sang adik menghela napas.
"Nii-chan, sekarang kau hidup. Dan entah kau sadari atau tidak, kau sedang menanti kematian datang menjemputmu." Mendengar ucapan Yui, sang kakak memelototkan matanya.
"Yak!" Tangan pemuda itu bergerak untuk menjitak gadis di sebelahnya, namun dengan cepat ditahan oleh si gadis.
Yui terkekeh melihat ekspresi sang kakak. "Sudahlah, intinya kita ini sama-sama penanti. Meskipun yang aku nanti adalah sesuatu yang mustahil."
Ekspresi gadis itu berubah sendu. Sebenarnya ia tahu, penantiannya selama tiga tahun ini sia-sia. Tapi biarlah seperti ini dulu, setidaknya sampai ia bisa menerima kenyataan, bahwa yang dinanti tak akan pernah kembali.
***