Jangan berpaling.
Aku benci. Kamu tidak menepati janji.-NAYLA-
----------Deretan buku-buku tersusun rapi di dalam puluhan rak yang berjajar penuh seni.
Perpustakaan milik SMA Ganesha memang menyediakan banyak buku, dalam berbagai genre pula. Banyak orang yang sering mengunjungi tempat itu, bahkan orang-orang di luar naungan SMA itu sendiri.
Mata indah gadis itu terus berlari mengejar cetakan kata yang menyusun sebuah buku tebal berjudul ‘Teka-teki Terakhir’. Entah apa yang membuat gadis itu tertarik. Dia bahkan meninggalkan kelasnya hingga jam belajar-mengajar usai.
Sangat disayangkan, tetapi itu sudah biasa dilakukannya.
Nayla Tussyta Henry, nama gadis itu, atau akrab disapa Naya. Menghilangkan satu huruf di dalam namanya sepertinya tidak termasuk dosa, dan tidak ada pasal undang-undang yang melarangnya.
Dia— Naya, adalah murid teladan di SMA Ganesha.
Naya menutup buku yang dipegangnya. Menghembuskan napasnya kasar kemudian mengamati sampul buku itu dengan seksama.
GGS, batin Naya, geek, genius, and sinis!
“NAYAAA!” satu lagi gadis yang muncul menghampiri Naya. Dia menyebut namanya dengan histeris.
Naya kenal dia. Namanya Navy, lengkapnya Navyta Aveola Zein. Dia satu kelas dengan Naya hampir 2 tahun ini, sekaligus merupakan teman dekat Naya. Tetapi, mereka jarang ngobrol di kelas karena Naya selalu berada di perpustakaan, sangat jarang mengikuti kelas.
Entah apa yang membuatnya mendapat predikat ‘murid teladan’, mungkin hanya karena nilai-nilainya yang terlampau bagus, tidak dengan kelakuannya yang minus.
Naya menoleh ke sumber suara, menatap sahabatnya dengan tatapan tajam. “Berisik!”
Navy menarik kursi yang ada di sebelah Naya dan menghempaskan pantatnya di sana. Dia tidak mempedulikan ucapan Naya, yang dia perdulikan hanyalah nasibnya!
“Nay! Nay!" panggil Navy histeris lagi.
"Gue tadi liat Alan ciuman sama cewek lain! Gue kan masih cinta sama diaaa, gue nggak bisa hidup ka—” curhatnya dengan raut wajah yang nelangsa tentang pacarnya, Alano, tetapi dengan cepat dipotong oleh Naya.
“Menurutku penting untuk meninggalkan sesuatu selagi kau hidup.”
Navy melongo tak percaya, sahabatnya bisa mengeluarkan kata-kata se-teladan itu. Disaat-saat seperti ini ternyata Naya juga peduli dengannya.
Navy terharu.
“Bagus nggak tuh, kata-kata dari novel?”
Naya tertawa terbahak-bahak melihat Navy yang sudah memasang raut wajah kesal setelah mendengar ucapannya yang kedua.
Navy bersungut. Dia menimpuk Naya dengan sebuah buku tebal di hadapannya. Kalau saja Navy psikopat, pasti dia sudah menyeret sahabatnya itu ke kolam piranha!
“Dasar kurang gula!” kesal Navy.
“Hah? Nggak kurang ajar, nih?” goda Naya yang tetap setia dengan tawanya. Dia suka menjahili Navy.
“Nggak, kata-kata lo pait! Nggak ada glukosa-nya sama sekali!”
“Takut diabetes! Tapi beneran deh, putusin aja!” balas Naya singkat. Berdiri dan mengembalikan buku yang baru selesai dibacanya ke dalam rak.
Navy hanya mengangguk dan berdehem singkat. Memang benar, cowok itu berengsek! Tidak bisa menghargai apapun yang selama ini Navy berikan padanya. Perasaannya sekalipun.
Naya dan Navy memutuskan untuk meninggalkan perpustakaan. Lagipula, Naya sudah seharian berada di sana.
Kalau kalian diizinkan untuk memberi opini, pasti kalian akan berkata bahwa Naya berangkat ke sekolah hanya untuk membaca jebolan buku yang minoritas dimiliki orang.
Salah. Tapi juga tidak sepenuhnya salah.
Dia sebenarnya lebih suka belajar di rumah, autodidak lebih memberi kesan ‘keren’ pada benaknya. Tapi keinginan Mamanya yang menginginkan Naya tumbuh normal di kalangan remaja pada umumnya layak untuk direalisasikan. Hanya itu yang bisa Naya lakukan untuk Mamanya.. yang sudah tiada.
Bruk!
“Aduh!” Naya mengaduh kesakitan setelah badannya terjerembab ke belakang. Untung saja Navy dengan sigap menahan badan Naya agar tidak terduduk di lantai.
Tapi percuma, kakinya tertimpa buku-buku tebal yang dibawa sang pelaku penabrakan.
“Lo jalan pake mata dong! Nggak liat apa ada orang di depan?” omel Navy membela Naya. Membantunya menyangga badan.
“Yah. Udah terjadi, gimana dong? Lupain aja ya?” ucap laki-laki itu seraya tersenyum, kemudian langsung mengambil bukunya yang berserakan dan pergi begitu saja.
Tanpa meminta maaf. Dan tanpa rasa bersalah.
Tidak terima. Naya sedikit menjulurkan salah satu kakinya yang tidak tertimpa buku ke samping, berniat sedikit memberinya balasan. Dan..
Bruk!
Sukses!
“Eh, Nav, kayak denger suara orang jatuh ya? Lo denger nggak?” tanya Naya sok tidak tahu apa-apa.
“Pfft. Salah denger kali, Nay. Lupain aja, nggak penting!”
Kedua cewek itu kemudian tertawa tanpa menoleh ke belakang. Mereka berjalan menjauhi tempat kejadian. Navy membantu Naya yang agak kesusahan berjalan karena kakinya yang baru saja tertimpa beban.
Mereka tidak melihat wajah geram yang dikeluarkan laki-laki itu.
Terlihat sangat garang dan sedikit.. menyeramkan.
Mereka mengabaikannya.
----------
Sekian dulu, ya.
Big thanks!!
Let's wait for next part!^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Arland
Teen FictionKadang, janji adalah kebohongan termanis. Raka terus-menerus ingkar. Raka terus-menerus mengabaikan. Seorang yang berperan selaku brilian dalam permainan rasa, kini terbentur pada memori manis yang sulit terlepas. Warna kehidupannya yang semakin me...