"Nyunyu, kenapa kau bersedih?"
Aku berenang mendekat. Nyunyu, temanku, tidak bertingkah seperti biasanya. Ia merupakan penyu yang sangat periang, setiap hari tidak pernah absen menari di sekeliling koral-koral. Kalau pagi hari dia mengisi kelas ikan, mengajari mereka cara berenang melawan arus. Kemudian siang hari dia akan mencari makan di tempat ubur-ubur. Malamnya dia akan berkumpul denganku dan yang lain, mendiskusikan apakah kami masih bisa kembali ke pantai kelahiran kami atau tidak.
Belakangan ini beberapa temanku kesulitan untuk bertelur. Mereka mengeluh pantai kami kini sudah penuh dengan benda-benda asing. Kalau tidak salah, temanku bilang namanya sampah. Terakhir aku kembali ke pantaiku, aku belum melihat benda asing yang mereka bilang. Semoga saja aku cukup beruntung sampai nanti-nanti.
"Perutku sakit," jawab Nyunyu, tergeletak di atas pasir.
"Makanlah! Banyak ubur-ubur di sekelilingmu!" Aku berenang mengelilinginya. Bahkan, dari penghujung mataku aku masih bisa melihat satu ubur-ubur yang berenang menjauhi kawanannya.
Nyunyu menutup matanya, kemudian kembali merebahkan kepalanya di atas pasir.
"Kenapa malah diam?" tanyaku heran.
"Begini masalahnya, aku sebetulnya sudah makan ubur-ubur kemarin. Tapi perutku malah jadi sakit," jawab Nyunyu, masih dengan mata tertutup.
Aku berhenti mengitari Nyunyu, kemudian ikut berbaring di sampingnya. Kepalaku refleks menoleh ke arah ubur-ubur yang berenang semakin mendekat. "Benarkah? Seperti Pinyo kemarin?"
"Hah? Kenapa Pinyo?"
"Kamu belum dengar? Dia makan banyak sekali ubur-ubur. Sebelum . . ." Waktu itu aku hendak berenang ke pantai, tapi aku malah tidak sengaja bertemu Pinyo. Ia tak membalas sapaanku, aku jadi penasaran. Saat aku berenang mendekat, ternyata dia sudah tidak bergerak lagi.
"Kau diam lagi, Nyu."
Nyunyu membuka matanya. Ia menoleh ke arahku, kemudian ke hamparan laut di hadapan kami. Di tempat kami beristirahat, aku bisa melihat ikan-ikan berenang dengan lincah mengelilingi koral-koral. Ikan kecil tertawa. Ikan besar menasehati anak-anaknya untuk menjauhi hiu. Kuda laut bermain bersama anemon. Anemon pun ikut menari, menggoda semua ikan yang melewati mereka.
"Aku pulang dulu, ya. Siapa tahu sakit perutku akan membaik," balas Nyunyu pada akhirnya. Suaranya lirih. Ia kemudian bangkit dan mulai berenang menjauhiku.
"Hati-hati! Jangan makan ubur-ubur dulu!" sahutku.
Nyunyu tetap berenang tanpa menoleh ke arahku.
Dalam diam, aku mengamati Nyunyu berenang menghindari keramaian. Penyu itu semakin jauh dari tempat ia biasa mengajar. Dari tawa ikan-ikan kecil yang senang membangunkan kerang besar. Tak lama sosoknya pun hilang. Kehidupan laut tetap berlanjut seperti tidak ada yang berbeda.
Aku pun memutuskan untuk ikut pulang. Akan tetapi, mataku tidak sengaja menangkap ubur-ubur yang tadi. Ia masih berenang di laut bebas. Tidak seperti ubur-ubur kebanyakan, ubur-ubur itu berenang sendiri.
Belakangan ini memang ada kejanggalan. Aku merasa menjadi lebih sering melihat ubur-ubur berenang sendiri. Tidak hanya itu, mereka juga cenderung berenang ke arah keramaian, tidak seperti biasanya.
Aku jadi penasaran, apakah memang sekarang ubur-ubur sudah berubah? Apakah perubahan itu yang sering menyebabkan temanku sakit?
:::: o ::::
Ah. Aku lapar. Kalau pagi begini perutku memang tidak bisa diajak berkompromi.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung bergegas bangun dan berenang ke arah pantai. Ini merupakan salah satu rutinitas kesenanganku. Pagi hari belum banyak ikan yang berenang, jadi aku bisa leluasa bergerak. Koral-koral seperti biasa tidak banyak bicara. Mereka menemani ikan yang tidur. Tapi anemon cukup ramah, mereka menyapaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampah #4: Plastik Kresek
Short StoryLautan semakin aneh. Tempat tinggal terakhirku bahkan berubah, memaksaku untuk pindah. Tidak ada lagi ikan kecil di sana dan koral-koralnya kehilangan warna. Belum lama aku mendengar kalau ada penyu yang tidak bisa pulang. Dia bilang pantainya hilan...