"Bu Yanti, saya nanti tidak ikut pulang. Bu Marti minta saya menginap, ada saudara yang datang katanya. Tidak apa-apa ya, Bu ?" Kartika meletakkan tas berisi tiga potong pakaian di depan pintu minibus yang akan mengangkut para siswa untuk lomba basket di Balai Ratu. Pak Budi, sang guru olahraga yang sudah duduk di bangku samping sopir, Bu Yanti dan Kartika yang mendampingi para siswa. "Satu malam saja kok.""Iya, tidak masalah, Tika. Lagipula kamu sudah lama tidak ke rumah bu Marti kan ?"
"Iya, Bu. Biasanya kalau ada tamu saya memang selalu diajak menemani." Saudara, kata Nenek, batin Kartika. Bukan orang kantor. Berarti bukan lintah berdasi itu.
<<<<<<<<<>>>>>>>
"Joel, aku wasit lagi di pertandingan terakhir, kan ?" tanya Bima tak sabar.
Bima yang tadi sudah menyelesaikan tugas jadi wasit kehormatan di pertandingan pembuka antara SMA tuan rumah dengan SMA unggulan kabupaten tetangga mengulangi pertanyaannya pada Julizar.
"Astaga. Iya, iya. Masih agak lama itu, bagian SMP sesudah makan siang. Sana, sapa dulu guru-guru dan teman-teman daripada kau sibuk ganggu aku terus."
"Sudah. Pak Ali dan Bu Kristy tadi sudah kutemui. Kami ngobrol lama. Teman-teman ? Huh, terima kasih atas keisenganmu, mereka tidak berhenti meledek aku. Puas mereka bisa bertemu langsung dengan objek bully gak jelas di WA grup kita." Bima mendecih kesal tapi hanya sesaat. "Si Vera malah terang-terangan menyebut aku 'brondong gila simpanan guru cantik'."
Joel hanya meringis sambil memeriksa ulang berkas pendaftaran peserta di ruang OSIS yang sementara disulap jadi ruang panitia ulang tahun sekolah.
Oh ya, kau bawa kan fotokopi sertifikat kursus wasitmu ?"
"Iya, bawa." Bima berkali-kali melihat ke berbagai sudut sekolah.
"Bu Kartika belum datang." Kata Joel datar.
Zaky datang membawa tiga nasi kotak.
"Terima kasih, Pak Guru." Bima menekankan kata terakhir dengan nada bergurau.
Zaky menggaruk-garuk kepala meskipun tidak gatal. "Ini karma karena aku suka melawan guru dulu. Tapi menyenangkan kok Bim jadi guru. Kamu senang juga kan ?" Zaky terkekeh. "Senang sama guru, maksudku."
Bima nyengir. "Kan aku sudah bilang di grup, aku ditolak. Dia malah tunangan sama orang lain."
"Tapi sebelumnya ?" Zaky masih berusaha mengorek keterangan. "Sempat kan jadian ?"
Bima melemparkan sebuah lap tangan ke wajah temannya. "Diamlah, Ky. Lagakmu sudah mirip polisi interogasi tersangka. Anton tuh yang berhak, polisi asli dia."
Zaky sang guru olahraga tertawa nyaring.
"Sudah lah. Makan siang dulu. Eh, tunggu. Apa orang terkenal mau makan nasi kotak kampung?"
Joel melirik sambil tersenyum. Ia gembira Bima masih seperti dulu, bercanda akrab dengan teman-temannya tanpa mempedulikan ketenaran yang didapatnya saat ini.
"Memangnya di mana aku makan dengan kalian saat istirahat dan pulang sekolah dulu ? Restoran Perancis ?"
Mereka hampir menyelesaikan makan siang ketika Joel angkat bicara. "Menurut info para cewek, Bu Kartika belum juga nikah lho, Bim."
Bima menelan suapan terakhirnya dan mendorongnya dengan sebotol air mineral. "Ya, aku tahu. Nenekku sudah bilang. Eh, kalian pikir aku datang gratisan ke sini hanya untuk jadi wasit ?"
"Aseeemm..." kata Zaky lucu.
Joel mendengkus.
Bima tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher and The Heir
General Fiction(COMPLETED) Bima, yang tak terkontrol lagi kehidupannya, diungsikan orangtua ke kampung halaman neneknya. Di situ ia harus menuntaskan SMA jika masih ingin diakui sebagai pewaris tunggal keluarga. Merasa paling segalanya, ia terus berulah di sekolah...