16 | Excitable Worry

80 11 0
                                    

Sama seperti beberapa detik yang lalu, Rafa masih tak kunjung memberikan reaksi apapun mengenai laporan yang diberikan oleh Karel. Hal itu tentu bukanlah sesuatu yang aneh bagi mereka.

“Oh iya! Gue baru inget!” ucap Tito antusias.

“Raf, tadi gue ketemu sama cowok yang namanya siapa ya, Ar Ar—”

“Ari-ari?” selak Karel tiba-tiba.

“Bukan goblok! Ar siapa ya, Ar—” Tito masih berusaha untuk mengingatnya.

“Arwah gentayangan?” tebak Karel lagi.

Anyink bisa diem nggak lo?!” omel Tito.

“Lah dibantuin kagak mau.”

“Bacot!” kesal Tito, lantas sepersekian detik kemudian ingatan akan nama itu muncul di kepalanya, “Arka anjir! Iya Arka namanya,”

“Arka anjir? Nama panjangnya anjir? Lucu juga,” cibir Karel.

Bangsat, bisa diem nggak?!” Tito sudah bersiap hendak mencakar Karel.

“Ih galak, atut ah.”

“Tadi gue liat dia ngobrol gitu sama Naura, kalo nggak salah dia mau nganterin Naura balik,” Tito pun akhirnya tidak memperdulikan Karel.

Sontak Rafa langsung menghentikan aktifitasnya kemudian menatap Tito seakan ingin menerkamnya.

Anjing! Jangan bercanda lo.”

“Eh santai nggak usah ngegas, ngapain juga gue bercanda si Raf elah nggak ada kerjaan gue,” Tito hampir dibuat ketakutan dengan reaksi Rafa.

“Emang lo mah nggak pernah ada kerjaan Tit,” sambung Karel.

“Tito anjing!

“Lah ngatain diri sendiri,” setelah itu Karel tertawa terbahak-bahak.

Sementara Tito, ia hanya bisa mengusap wajahnya kasar. Maksud hati bukan berkata seperti itu, tapi bagaimana bila sudah terjadi. Hanya bisa pasrah karna kali ini bacotannya dikalahkan oleh Karel.

Secara tiba-tiba, Rafa bangkit kemudian berjalan meninggalkan ketiga sahabatnya. Pada saat itu juga suasana menjadi hening, ketiga tatapan mereka mengarah pada satu sosok yang sedang berjalan meninggalkannya, yaitu Rafa.

***

Naura merasa kantuk tengah melandanya dengan sangat besar, sehingga membuatnya sering kali menjatuhkan kepalanya karna tanpa sadar memejamkan matanya.

“Naura mending ke toilet gih, cuci muka,” bisik Alda memberi perintah seraya menyikut lengan Naura, “daripada Naura kena nanti sama Pak Yuda,” tambahnya.

Menyetujui perkataan Alda, Naura segera mengangkat satu tangannya dan meminta izin.

“Pak, maaf. Mau izin ke toilet.”

“Ya, silahkan.”

Naura membuang nafas lega, ia pun berjalan keluar kelas. Seketika udara di luar mengenai wajahnya dan mengibaskan rambutnya yang sengaja ia urai. Tanpa sadar, ia menjadi tontonan beberapa siswa yang hendak berjalan melewatinya.

“Buset, ciptaan Tuhan manakah yang kamu dustakan?”

“Emang gitu bunyinya?”

“Kaga tau, intinya begitu dah kalo liat yang indah-indah.”

Ucap kedua lelaki tersebut dengan mata yang tak kunjung berkedip kala melihat Naura bak puteri yang turun dari khayangan. Sepersekian detik kemudian Naura tersadar ketika dirinya menjadi perhatian di sekitarnya, segera ia berjalan cepat menuju tujuan utamanya.

“Cewek mahal dia, nggak usah ngarep lo, Panjul!” celetuk salah satu di antara lelaki tersebut.

Naura merutuki dirinya sepanjang jalan menuju toilet, ia menyesal mengapa ia terbawa oleh suasana sehingga tanpa sadar ia menjadi tontonan siswa tadi. Sungguh, Naura bukan tipe perempuan di luaran sana yang gemar mencari perhatian para lelaki.

Biar saja mereka bilang Naura tidak normal atau aneh, karena beginilah adanya, Naura tidak suka bila dirinya menjadi sorotan atau perhatian lingkungan sekitarnya.

Berbelok pada ruangan yang biasa siswi gunakan sebagai alasan untuk bolos, toilet.

Selesai buang air kecil, seperti biasa Naura berhenti sejenak dicermin besar untuk sekedar mencuci tangan kemudian berkaca dan sedikit merapihkan rambutnya.

Hanya butuh waktu 20 detik Naura berkaca, ia pun beranjak untuk kembali ke kelasnya. Namun ketika langkahnya baru keluar dari toilet, tiba-tiba saja bahunya menabrak seseorang yang sedang berjalan dari arah yang tidak diketahuinya. Naura pun meringis, karna benturannya cukup keras dan terasa sakit.

“Eh sorry, gue nggak—Naura?”

Naura masih menunduk mengadah pada bahu sebelah kanannya, tangan nya sibuk memijat-mijat bahunya agar rasa sakitnya berangsur menghilang.

“Iya nggak papa santai aja,” saut Naura.

“Gue anter ke UKS ya?”

Naura terdiam beberapa saat, suara itu, suara yang sangat ia kenali. Ia pun memutuskan untuk melihat sosok yang baru saja berbicara, dan kini dirinya mematung untuk beberapa detik.

“Naura? Lo nggak papa 'kan? Gue anter ke UKS mau?” Arka mengibaskan tangannya beberapa kali ke wajah Naura.

“Eh? Eng—ga papa kok, nggak usah serius nggak papa,” Naura berusaha sebisa mungkin bersikap biasa saja.

Arka menggaruk tengkuknya yang tak gatal, ia merasa tidak enak. Karena bagaimana pun juga itu adalah kesalahannya, berjalan dengan tempo yang begitu cepat sehingga tak melihat objek di depannya.

“Sebagai permintaan maaf gue, gue traktir makan di kantin deh,” Arka memberikan tawaran.

“Nggak papa Arka, serius nggak sakit kok, lagian pasti tadi nggak sengaja 'kan?” kekeh Naura.

“Iya sih, tapi tetep aja salah gue, karna jalan seenaknya aja. Atau nggak, gue anter lo balik deh ya, please jangan nolak ya, sebagai permintaan maaf,” Arka pun memohon pada Naura.

Dan sisi terlemah Naura pun keluar, lagi-lagi seseorang memohon kepadanya, yang berarti Naura tidak akan mungkin bisa menolaknya.

Ketika Naura ingin mengatakan kesediaannya, entah mengapa secara tiba-tiba kepalanya memutar satu sosok yang akhir-akhir ini masuk ke dalam kehidupannya, siapa lagi kalau bukan Rafa. Naura takut bila nanti Rafa kekeh ingin mengantarnya pulang, walau bagaimana pun ia dan Rafa sedang menjalani sebuah skenario dan menjadi sepasang kekasih pura-pura.

“Nau, please, lo tega bikin gue nggak bisa tidur gara-gara ngerasa bersalah?” Arka kembali memohon, dan kali ini ia sukses menampilkan wajah memelasnya.

Dan Naura pun tak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya, selain menuruti permintaan Arka apakah ia sanggup? Ketika dirinya merasa paling lemah saat dimintai pertolongan oleh seseorang.

FAKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang