"Rasa cinta memang tak bisa dikendalikan, tapi bagaimana caramu mencintai lah yang harus kau kendalikan."
Aku merebahkan diri di kasur. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam dan aku baru saja pulang. Sungguh menyenangkan bertemu dengan Nichi, teman masa lalu Aninda.
Sayangnya, dia tidak menetap terlalu lama disini. Dia hanya datang bertemu dengan Aninda dan aku karena liburannya. Matanya terlihat sedih tapi dia tetap tersenyum dan tertawa. Ah entahlah, mungkin hanya firasatku saja yang sok tahu.
"Kenalin Chi, ini temenku Diana yang selalu aku ceritain ke kamu." ujar Aninda mengenalkan aku ke Nichi. Nichi tersenyum dan mengangguk kecil. "Hai Diana, salam kenal." kata Nichi mantap dan mengulurkan tangannya.
"Salam kenal juga, Nichi." sahutku dengan senyum selebar mungkin, segera membalas uluran tangannya. Melihat kami sudah berjabat tangan, Aninda tersenyum-senyum.
"Dia selalu gagal tuh Chi masalah percintaan. Mantan memang satu, tapi mantan gebetan sih ribuan. Ya gak, Di?" ledek Aninda sambil mengerlingkan matanya dengan nakal padaku.
Aku geleng-geleng kepala dan tersenyum kecut. Bukannya menanyakan kabar dan berbasa-basi setelah tidak berjumpa sekian lama, Aninda justru langsung bercerita mengenai aku tanpa tedeng aling-aling. Atau mungkinkah mereka bertemu hanya untuk membantu menghadapi keluh kesahku?
Aku melihat langit-langit kamar dengan samar. Kenangan itu, kembali terbersit di pikiranku. Bagaimana aku menggenggam tangannya, dan betapa hancurnya aku ketika dia tetap berjalan pergi dan menjauh begitu mengucap kata maaf. Sungguh, jika memang tidak mau berusaha untuk mempertahankan, kenapa harus memulai? Sepertinya dia tak sadar diri. Menganggap dirinya anak-anak yang sah-sah saja membangun sesuatu untuk dirobohkan.
"Duh kenapa malah bahas aku sih, Nin?" kataku tak enak pada Nichi yang tersenyum-senyum kecil. Wajah Nichi cantik sekali. Bentuk wajahnya terlihat sempurna dengan bola mata puppy eyes yang sangat menggemaskan. Rambutnya hitam terurai dengan kulitnya yang tampak begitu lembut. Lebih cantik dari yang kulihat di foto.
"Aku memang penasaran banget sama kamu, Di. Sepertinya kamu terlalu pintar teori, tapi gak bisa mempraktekkannya kan?" tanya Nichi padaku yang membuatku terkejut. Wah, gila. Seberapa banyak Aninda menceritakan aku pada Nichi?
Aku mendelik ke arah Aninda yang memandangku balik dengan kerlingan santai. Dia mungkin menganggap masalah cintaku ini kekanak-kanakan, tapi tetap saja. Duh!
"Kayaknya aku gak perlu cerita lagi ya, Chi? Kamu udah tahu banyak dari Aninda." sahutku waktu itu, bingung mau bicara apa lagi.
Aku menimang-nimang untuk berbicara apa lagi sebelum akhirnya berceletuk, "Kamu beruntung, Chi. Punya pacar yang setia sama kamu."
Sesungguhnya aku agak menyesal sekarang karena berkata seperti itu pada Nichi karena ekspresi selanjutnya sungguh sangat sulit kujelaskan dengan kata-kata.
"Gak ada yang untung-untungan." katanya pelan, wajahnya tampak menegang. "Berpacaran langgeng pun belum tentu senang-senang saja, Di. Buang jauh-jauh pikiranmu kalau pacaran cuma untuk have fun. Bagaimana kalian saling melengkapi dan berusaha tidak meninggalkan, pertengkaran yang terjadi karena ego masing-masing..... percayalah, itu gak kalah sulit dari perasaan saat kamu patah hati."
KAMU SEDANG MEMBACA
MY BEST MISTAKE
RomanceBukan masalah siapa yang pergi, kapan akhirnya pergi dan mengapa memilih pergi. Masalahnya adalah hatiku yang masih belum mau berhenti mencoba mengharapkanmu kembali, tetap mencintaimu dalam diam, dengan rindu yang selalu kurajut dalam doa.