Musim Dingin 1872
"Apa yang moeder katakan pada Arabella sehingga ia bisa pingsan seperti itu?" Samar-samar Arabella mendengar Lord Carlos membentak Lady Irene di depan kamar. Arabella kembali mengerjapkan matanya, berusaha membiasakan matanya dengan cahaya lampu yang temaram. Ia sedang berusaha mengingat apa yang membuatnya pingsan seperti itu. Dia tidak pernah pingsan sebelumnya, kecuali sekali waktu ia masih berada di Nederlandsch- Indie yang menyebabkannya kehilangan sebagian ingatannya.
Arabella kemudian mendengar Lady Irene tertawa terkekeh. "Kalau kau begitu khawatir padanya, mengapa kau tidak masuk saja ke dalam untuk menjenguknya? Tidak perlu membentak moeder segala."
"Moeder tahu kan aku tidak bermaksud seperti itu!" Keluh Lord Carlos frustasi. "Lagipula dokter menyuruhnya untuk beristirahat. Tetapi aku tahu moeder pasti mengatakan sesuatu padanya yang menyebabkannya bisa pingsan seperti itu!"
"Moeder hanya mengatakan bahwa kau mencintainya."
"Apa?!" Suara lord Carlos terdengar terkejut membuat Arabella terpaksa tersenyum. "Moeder tidak benar-benar mengatakannya kan?"
"Tentu saja. Kau memang mencintai Arabella kan? Jika tidak kau tidak akan mau menikahinya!"
"Yang benar saja! Aku memang menikahinya tetapi itu hanya karena aku menghormati moeder. Moeder tahu kan aku masih mencintai Lady Millicent," ujar Lord Carlos terdengar sedih.
Arabella kembali merenung. Dia merasa sering mendengar nama itu. Bahkan dia merasa nama itu terasa familiar di telinganya. Apakah ini ada hubungannya dengan salah satu memorinya yang hilang? Arabella bangkit dari tempat tidurnya lalu memandang keluar dari jendela kamar kemudian membukanya membiarkan udara dingin musim salju masuk ke dalam kamar. Sejauh mata memandang yang dilihatnya hanyalah hamparan seputih salju, pohon-pohon yang diselimuti salju, serta Sungai Maas yang membeku. Arabella menggigil kedinginan lalu kembali menutup jendela dan merapatkan mantel tidurnya.
"Ah Millicent! Lupakanlah dia Carlos! Belajarlah menerima Arabella sebagai istrimu. Dia adalah gadis baik-baik. Moeder suka padanya."
Sang Duchess of Parma yang baru itu lantas kembali duduk di tepian kasurnya. Bagaimana pun mendengarkan pembicaraan orang lain secara diam-diam bukan merupakan tindakan yang pantas. Lagipula Arabella sama sekali tidak tertarik pada obrolan yang sedang berlangsung anatara Lord Carlos dengan Lady Irene. Perhatiannya lebih terarah pada buku diary bersampul beludru merah yang ditemukannya. Arabella kemudian menimangnya bimbang. Sopankah perbuatannya jika buku diary itu memang milik suaminya? Tetapi buku itu sudah lama berada di bawah rak perpustakaan, dibuang oleh siapa pun pemiliknya. Seharusnya tidak apa bukan jika dia membukanya?
Percakapan diluar masih terus berlangsung. Sementara Arabella sendiri di dalam kamar, berdebat dengan pikirannya sendiri tentang apa yang harus diperbuatnya dengan buku tersebut. Namun karena rasa keingintahuannya yang lebih besar, maka Arabella akhirnya memberanikan diri untuk membuka diary lama tersebut. Tangannya terasa bergetar saat membuka halaman pertama buku itu
Lady Millicent.
Dua kata itu yang tertera pada halaman pertama buku harian tersebut. Tulisan tangannya sendiri Arabella akui sangat indah dibuat berukir. Namun sayangnya kertas tersebut tampak menguning akibat lapuk dimakan waktu.
Pintu kamaf berderit terbuka sementara Arabella bergegas masuk kembali ke dalam selimut. Buku diary Lady Millicent sendiri telah ia amankan kembali di dalam saku gaunnya. Percakapan diluar telah terhenti. Arabella kemudian mendengar suara sepatu Lady Irene menjauh dari kamarnya sementara Lord Carlos masuk ke dalam kamar yang sedang ditempati Arabella.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chase The Bliss [Completed]
Fiksi Sejarah#1 from The Overseas Tetralogy Kejarlah kebahagiaanmu! Karena kaulah yang menentukan takdirmu sendiri.... Arabella Gualthérie Van Weezel, seorang Lady muda dari wangsa Weezel. Seorang noni muda Belanda. Trauma masa lalu menghantuinya ketika ia jatuh...