Jingga

17 3 0
                                    

Aku melihat ke lapangan dari tempatku berdiri. Ini masih terlalu pagi, bahkan jarum pendekpun belum sampai di angka enam. Sekolah ini juga masih sepi, Kemal dan Cheli juga belum berangkat. Aku terpaksa harus berangkat pagi karena ada urusan dengan Pak Bonang dan pasukannya, kesiswaan sekolahku.
“Hey!” seseorang menepuk pundakku.
Aku tersentak kaget. Itu Evan, yang baru saja keluar dari ruang waka. Aku langsung melayangkan lirikan sinis kepadanya.
“Pagi-pagi udah ngalamun! Mikirin apa? Julian? Kan baru aja ketemu!”
“Enak aja! Siapa juga yang ngelamun?! Sok tau!!” aku berlalu mendahuluinya.
Dia segera mengikuti langkahku. “Mau kemana?”
“Kantin.” Jawabku singkat.
Dia menarik tanganku dan membawaku berputar arah. Aku sempat melakukan perlawanan, “Eh, mau kemana?” tanyaku heran.
Dia berhenti sebentar, dan melihat ke arahku. “Kamu laperkan? Pagi-pagi gini kantin belum buka!” dia kembali menarikku, kali ini aku tak lagi melakukan perlawanan.
“Mau kemana?” tanyaku.
“Ikut aja!” jawabnya.
“Oke! Tapi aku bisa jalan sendiri!” aku menepis tangannya.
Dia tak protes dan tetap berjalan. Kami berjalan berdampingan ke luar sekolah. Dia mengajakku ke warung bubur ayam yang tak jauh dari sekolahan.
Aku melahap bubur ayam yang kupesan.
Evan tersenyum ke arahku. “Laper apa doyan?!” ejeknya disertai tawa.
“Hey! Gue belum sarapan Bro! Kenapa juga kamu bikin aku terlibat sama acara pentas seni sekolah?! Aku bahkan sama sekali gak paham! Mana pagi-pagi gini harus udah nyampe sekolah!” keluhku pada sosok yang tengah menikmati bubur ayamnya.
“Udah ngomelnya?” tanyanya tanpa rasa bersalah.
Aku lemparkan tatapan tajam padanya. “Sialan nih orang! Kalo bunuh orang nggak dosa, udah gue cabik-cabik lo!”
Dia malah tertawa. “Sadis amat! Kamu werewolf ya?” candanya kembali tertawa.
Aku ikut tertawa bersamanya.
“Nah gitu dong! Kan cantik kalo ketawa!” pekiknya.
“Baru sadar kalo gue cantik?” aku mengedipkan mataku, belagak sok cantik.
“Cantik sih! Tapi nggak secantik Cheli!” dia tersenyum.
“Bodo amat!” aku kembali menyantap buburku.
***
“Nih, sarapan dulu!” Unta meletakkan bungkusan nasi goreng di hadapanku. Dia baru saja datang.
“Ya ampun, baiknya Abang gue!” aku tersenyum lebar.
“Tumben muji!” ledeknya.
Aku membuka bungkusan itu dan melahapnya. Memang aku baru saja makan, tapi Unta akan senang jika aku memakan bungkusan yang dibawanya untukku itu.
Evan yang baru kembali dari kamar mandi menghampiri kami. “Perut kamu lima ya Che? Barusan makan udah makan lagi!” ledek Evan yang kemudian berlalu.
“Lo udah makan Che?” selidik Unta.
Aku mengangguk. “Makan bubur ayam deket sekolah sama Evan tadi.”
“Berdua?”
“Bertiga sama yang jual!”
“Che!” nada bicaranya menjadi lebih serius.
“Kenapa?”
“Lo nggak mikirin perasaan Cheli? Atau seengkanya perasaan Julian?”
Aku menangkap ketidakpercayaan pada Unta. Dan jujur, aku kecewa. “Ta, sejak kapan lo jadi nggak percaya gini sama gue?” pembicaraan kami semakin serius.
“Bukan gitu Che! Coba lo pikir, gimana perasaan lo kalo Cheli sering habisin waktu berdua sama Julian? Lo cewek Che! Harusnya lo lebih ngerti dari gue!”
“Maksud lo apa sih Ta? Gue sama Evan nggak ada apa-apa!” aku mencoba menjelaskan.
“Terserah lo Che! Gue capek ngasih tahu lo!” Unta beranjak keluar kelas.
Aku merasa Unta mulai berubah. Ini pertama kalinya aku melihat ketidak percayaannya padaku. Ini pertama kalinya dia berpaling dariku. Ini pertama kalinya dia pergi di saat kami sedang berada dalam ketegangan. Dia berubah. Dan hal ini yang selalu aku takutkan.
Aku hanya memandangi kepergiannya.
“Che!” Fanya, teman sekelasku, menepuk pundakku.
Aku tersenyum ke arahnya.
“Kamu berantem sama Kakak kamu?” tanyanya berhati-hati.
Aku hanya tersenyum. Aku tidak bisa berkata apapun. Sangat perih dihati, ketika orang yang selalu mendukungmu tiba-tiba tidak mempercayaimu.
Fanya mendekat dan memelukku. Entah kenapa tangisku pecah dalam pelukannya. Dia segera mengajakku ke kamar mandi sebelum ada yang menyadari air mataku.
Kubasahi wajah yang baru saja mengeluarkan banyak air mata itu. Bayangan dicermin itu tetaplah wajah dengan tangisan, walaupun berkali-kali kubasuh dengan air yang mengalir dari wastafel.
“Kamu mau ke UKS aja? Nanti biar aku yang izinin ke guru!” Fanya cukup mengerti bahwa aku tak ingin ada yang melihatku seperti ini.
“Makasih ya Nya!”
Dia tersenyum tulus, lalu mengatarku ke UKS.
Dia membawakanku teh anget. “Nih, biar kamu lebih tenang!”
Aku meminumnya sedikit lalu meletakkannya di meja samping tempat tidur UKS yang kududuki. “Makasih.”
Fanya menarik kursi dan duduk dihadapanku. “Kalo kamu butuh tempat cerita, aku siap dengerin semua cerita kamu!”
“Kemal kira aku ada apa-apa sama Evan. Pertama kalinya aku lihat dia nggak percaya sama aku, dan itu bener-bener…” tangisku kembali pecah sebelum aku menyelesaikan ceritaku.
Fanya memelukku. “Aku ngerti perasaan kamu! Kamu tenangin diri kamu dulu! Biar kamu juga bisa mikir dengan jernih! Jangan sampai kamu salah langkah karna emosi!”
“Makasih Nya!” aku melepas pelukannya. “Kamu balik ke kelas aja! Bentar lagi masuk!”
Fanya mengangguk.
Aku memutuskan untuk tidur setelah Fanya pergi. Pikiranku sedang kacau, aku butuh istirahat.
Sudah satu jam aku terlelap. Kudapati puluhan pesan dari Macan, dan panggilan tak terjawab darinya. Dia mengkhawatirkanku. Entah dari mana dia tahu jika aku sedang di UKS.
“I am fine.” Kukirim balasan untuknya.
Mataku mendapati secarik kertas di meja. Seingatku, aku tidak melihatnya sebelum tidur. Kuraih kertas itu.
“Jingga…
Keindahan dalam sendu
Dia bukan duka, bukan pula tawa
Dia hanya jingga…” begitu bunyi tulisan yang ada di kertas itu.
Aku bertanya-tanya, apa maksudnya? Siapa yang meletakkan ini di sini? Dan kenapa? Pertanyaan itu memenuhi pikiranku. Pemikiran itu buyar ketika handphone-ku berbunyi, telpon dari Macan.
“Sayang? Kamu kenapa? Kamu sakit? Udah enakan?” tanyanya begitu aku mengngkat telpon.
Aku tersenyum. “Khawatir ya?”
“Kamu kenapa?”
“Gakpapa.”
“99,9% kalo cewek bilang gakpapa, itu artinya ada apa-apa! Jadi, kamu kenapa?”
Aku tertawa. “Aku gakpapa sayang!”
“Dasar cewek! Ntar bilang aku gak pekalah! Gak ngertiinlah! Tapi kalo ditanya gak mau jawab! Emangnya aku dukun? Bisa tahu tanpa kamu kasih tau!” dia mengomel.
Sekali lagi aku tertawa. “Kamu baik kok! kamu ngertiin aku! Aku sayang kamu!”
“Kamu lagi cabut ya?!”
“Tau aja kamu!”
“Kamu berantem sama Kemal?”
“Iya.”
“Mau cerita?”
Aku diam menahan air mata yang hampir menetes lagi.
“Eh, tau nggak? Kucingnya Sisil hamil!” dia mengganti topik.
Aku menyeka air mataku. “Hamil sama siapa?”
“Nggak tahu! Gara-gara nggak dikandangin, jadi kayak gitu!”
“Terus, siapa yang bakal tanggung jawab?”
“Aku juga bingung Che! Aku ngerasa gagal didik dia!” bicaranya sok serius.
Aku tertawa. “Kamu emang paling bisa balikin mood-ku! Kok kamu bisa telpon aku? Bukannya masih jam pelajaran?”
“Aku izin ke kamar mandi.”
“Ya ampun sayang, ya udah balik sana!”
“Beneran? Ntar kangen loh!”
“Dihh! Ngapain kangen! Udah sana! Bye!”
“Ya udah! Bye!”

UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang