"Mengikuti kata hati bukan lah kesalahan. Namun, tanpa menyertakan akalmu, kesalahan itu perlahan menjadi nyata."
Jam pelajaran sudah selesai sejak tadi dan aku masih berada di sekolah karena beberapa tugas ekskulku. Beruntung, aku cukup berbakat dalam membuat artikel, jadi aku tidak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya.
Aninda sudah pulang bersama pacarnya sejak bel berbunyi. Dia sempat mengkhawatirkanku, tapi aku tidak enak menganggu mereka. "Pergi saja, Nin. Aku udah terbiasa naik bus, kok." kataku berusaha meyakinkan sebelum akhirnya Aninda benar-benar pulang.
"Oke..." ujarnya saat itu. "Inget jangan judes judes, ya!" pesannya sambil berlari yang kubalas dengan wajah innocentku.
Mengingat itu, tanpa sadar ujung bibirku terangkat. Perlahan, aku menyusuri jalan berbatu di tengah taman sekolah sambil memandangi lingkungan sekolahku yang mulai sepi.
Aku berhenti melangkah dan menajamkan pandanganku. Mataku menyipit melihat gerombolan kakak kelas 12 yang belum pulang, tampaknya mereka ada kelas tambahan jadi baru pulang.
Entah angin dari mana, tiba-tiba aku teringat bahwa Dafa tadi absen saat mencari ide baru untuk mading sekolah. Dengan tidak tahu dirinya dia masuk ke pikiranku.
Kalau ketemu dia, senyum. Kalau enggak, jalan cepet-cepet! Putusku dalam hati karena harus melewati gerombolan kakak kelas yang kebanyakan laki-laki itu. Tentu mereka berkumpul dulu di parkiran sebelum pulang, kan? Seperti biasanya.
Kepalaku menunduk dan mulai berjalan dengan cepat, kalian tidak akan bisa menebak berapa kecepatanku. Sungguh. Aku jalan tergesa-gesa sebelum akhirnya... Semesta lagi-lagi berpihak padanya.
"Diana?" panggil Dafa, entah dari mana. Aku tidak tahu dia dimana saking banyaknya cowok-cowok yang bertengger di motor sampai ke pohon *bercanda. Aku juga tidak mau mencari tahu saat itu.
Gawat, gawat, gawat... mantraku dalam hati. Rencanaku untuk tersenyum saat dia menyapa tiba-tiba lenyap entah kemana.
Daf, kamu kemana?
Dafaaaaa...
Daf, kok aku ditinggal sih?Mendengar itu, kecepatanku menjadi turbo. Dan tentu saja, dengan kepala yang masih menunduk.
"Heh, ada gerbang!"
Tepat saat itu, bahuku ditarik kebelakang, tanpa bisa kucegah, langsung berhadap-hadapan dengan dadanya yang kubilang cukup untuk landasan helikopter itu. Loh, mana mukanya? Siapa sangka aku bakal sependek itu? Tinggiku tepat di bawah dagunya!
"Yah, tau-taunya pendek banget.." ejek Dafa sambil melihatku yang masih berdiri kaku seperti patung. "Aku panggil dari tadi kenapa gak jawab?"
Aku terdiam. Grogi, lah. Walau aku gak benar-benar suka sama dia, tetap saja kan?
"Maaf kak, aku gak denger." jawabku bohong.
"Tuh kan, kenapa kakak lagi manggilnya?" selorohnya sambil tertawa kecil. Kalau diingat-ingat lagi, dia selalu menertawaiku di tiap kesempatan.
Aku diam, dia juga diam. Aku tidak berani memandang matanya, aku tidak tahu apa yang dia perhatikan. "Hm... aku boleh pulang gak?" tanyaku tiba-tiba.
Lagi-lagi. Dia cekikikan. Aku cengo. Ketawa aja ganteng.
"Jangan dulu."
"Kenapa jangan?" tanyaku bingung, agak kesal juga.
"Bus selanjutnya dateng sekitar 10 menit lagi.. kalau kamu jalan kayak barusan, 5 menit juga udah sampe di halte, kok."
"Kenapa aku gak boleh pulang?" tanyaku ulang, memastikan apa dia pura-pura budek, atau memang budek. Siapa tahu kan? Dibalik wajahnya yang ganteng ternyata.... Skip.
"Biar aku gak stres lagi mikirin pelajaran fisika barusan. Aku harus ngeliat kamu dulu."
Hih, geli! Aku bergidik sebelum akhirnya bodo amat dan cepat-cepat ngacir dari sana. Jurus seribu bayangan mode on.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY BEST MISTAKE
RomanceBukan masalah siapa yang pergi, kapan akhirnya pergi dan mengapa memilih pergi. Masalahnya adalah hatiku yang masih belum mau berhenti mencoba mengharapkanmu kembali, tetap mencintaimu dalam diam, dengan rindu yang selalu kurajut dalam doa.