"Kau tidak bisa menghakimi tiap orang yang meninggalkanmu sebagai orang yang jahat. Jika kepergiannya justru membuatmu menjadi lebih baik, apa masih pantas kau sebut kejahatan?"
Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi dan aku masih duduk di meja makan, mengolesi roti tawarku dengan selai stroberi sambil memperhatikan Gio dan Gita yang kompak tengah menggunakan sepatu.
"Kamu gak bareng bibi, Di? Beneran dijemput Aninda?"
"Iya, bi. Tenang aja.. Gak akan telat, kok." jawabku cengar-cengir lalu mulai melahap roti isiku.
"Oke deh, hati-hati. Kalau gitu, bibi duluan yaa..."
"Sekolah dulu ya, kak....!" koor Gita yang diikutin Gio dengan tak kalah semangat. Aku tersenyum sumringah, mereka menggemaskan sekali. "Semangat ya belajarnya!" pesanku sok bijak, padahal aku kan, tidak terlalu suka belajar hehehe.
Mereka lalu jalan beriringan menuju pintu keluar. Bertepatan dengan itu, aku mendengar suara kendaraan, motor tepatnya, yang dimatikan dari kejauhan dan seperti berhenti tepat di depan rumah. Apa cuma halusinasi aja ya? Kok suaranya bibi gak kedengeran? gumamku.
Awalnya, aku sempat berencana untuk mengintip, tapi aku masih menikmati sarapanku. Entahlah, tapi pagi itu rotiku terasa sangat enak. (aku hanya beralasan, sesungguhnya aku malas untuk mengintip).
Keheningan aneh itu terjadi selama beberapa menit sebelum akhirnya aku mendengar sayup-sayup suara derap kaki menjauh. Bibi mengantar Gio dan Gita dengan berjalan kaki menuju halte untuk menunggu bus sekolah, bukan dengan kendaraan pribadi. Lalu, suara motor siapa itu? Kenapa mereka malah baru berangkat?
Tiba-tiba bulu kudukku naik. Aku merinding. Kemarin aku sempat menonton film horror dan itu membuatku semakin bergidik ngeri. Kalian pernah merasakannya, kan? Apalagi pamanku sudah berangkat kerja sejak pagi tadi dan aku benar-benar sendiri sekarang.
Bertepatan dengan itu, teriakan Aninda menyadarkanku. Tanpa aba-aba, aku segera merogoh tasku dan menyusul Aninda untuk berangkat ke sekolah.
🍃🍃🍃
"Dik, ada Diana, gak?" tanya Dafa yang kini tiba-tiba berada di depan kelasku. Sungguh, dia gak punya kerjaan!
Beberapa temanku yang waras langsung menghampiriku dan sisanya tentu saja mulai menyoraki-ku dengan semangat.
Aku melirik Aninda yang tengah memandangi Dafa dengan senyum-senyum aneh yang menyebalkan. "Cepet sana, gih!" selorohnya seraya mendorongku. Aku melangkah mendekati pintu kelas dengan muka yang berlipat-lipat, tentu saja Dafa memperhatikan, tapi dia malah tersenyum. Mungkin ingin memamerkan lesung pipinya ke temen-temen cewekku yang mulai histeris.
"Kenapa, kak?" tanyaku malas-malasan.
"Dafa."
"Gak berani."
"Kenapa gak berani?"
"Gak sopan."
"Kemarin berani, tuh."
"Kenapa, Dafa?" tanyaku pelan, berusaha menurunkan intonasiku. Yang terpenting sekarang adalah agar dia cepat pergi.
"Nanti kamu di rumah?"
"Jangan nyari aku."
"Iya janji."
Heh?? aku mengerutkan keningku. Terus kenapa dia bertanya apa aku ada di rumah atau tidak?
"Ada atau enggak?"
"Ada."
"Yaudah aku balik ke kelas."
"Udah? Gitu doang?"
"Kamu mau lama-lama?" tanyanya senyam senyum. Jantungku mulai disko, tapi aku buru-buru menjaga bibirku agar tetap terkatup.
"Gak, lah." cibirku sok jual mahal. Nanya gitu doang kan bisa lewat chat. Biar apa coba nyari ke kelas?
"Aku harus liat kamu dulu. Nanti ulangan soalnya." kata Dafa tiba-tiba, seolah sedang menyahuti pertanyaanku.
Aku diam manggut-manggut dan berusaha memahami apa maksudnya. Capek juga mendongakkan kepalaku untuk berbicara dengannya. Belum lagi bonus deg-degannya, jadi aku hanya diam saja.
"Daf, ngapain disini?" tanya cewek yang entah dari mana juntrungannya tiba-tiba menggelayut di lengan Dafa. Mataku terbelalak kaget sebelum akhirnya inisiatifku turn on, aku tersenyum pada cewek itu, dan dia membalas senyumku. Benar dugaanku, dia adalah kakak kelasku.
Berbeda dengan kakak kelas yang tersenyum itu, ekspresi Dafa berubah kaku dan menepis pelan tangan cewek itu. Semuanya berlangsung dengan cepat sebelum akhirnya Dafa tersenyum padaku.
"Aku balik ke kelas ya, Diana." ujarnya dengan suara samar-samar sebelum akhirnya Dafa dan kakak kelas itu menghilang dari pandanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY BEST MISTAKE
RomanceBukan masalah siapa yang pergi, kapan akhirnya pergi dan mengapa memilih pergi. Masalahnya adalah hatiku yang masih belum mau berhenti mencoba mengharapkanmu kembali, tetap mencintaimu dalam diam, dengan rindu yang selalu kurajut dalam doa.