Bagian 6

53 13 10
                                    

Malam ini adalah malam UTS. Aku tidak bisa konsentrasi belajar. Yang ada di pikiranku hanyalah Dave. Dari tadi satu bab pun belum aku selesaikan. Padahal tidak biasanya aku belajar kebut malam seperti ini.

"Rin? Kamu belajar kan?", teriak mama dari luar kamar. "I-iya ma! Aku lagi belajar kok". Padahal diriku baru saja menutup aplikasi Facebook yang ku gunakan untuk stalking profil Dave yang sudah meng-unfriend aku.

Kucoba membaca buku paket ku lagi. Rasanya membaca satu kalimat pun susah untuk dipahami. Aku bahkan menyelesaikan satu halaman dalam waktu 20 menit lamanya.

Aku kesal dan memukulkan kepalaku ke dinding yang kugunakan untuk bersandar, "Argh!!! Dave!!! Mantra apa yang kau ucapkan dari sana? Kenapa aku bisa jadi dungu seperti ini?".

Air mataku mulai muncul di sudut mataku. Sepertinya kali ini aku akan mengecewakan ayah. Aku tidak bisa membayangkan betapa kecewanya ayah kalau dia melihat hasil ulangan ku besok.

Seharusnya aku meneruskan membaca buku ku. Tapi aku terlalu pusing karena menangis. Sekali lagi, aku tidak bisa menahan tanganku untuk meraih ponsel dan stalking profilnya Dave. Kulihat dia baru saja mengganti foto profilnya menjadi foto dirinya yang sedang berduaan dengan Martha.

Aku melempar ponselku. Sudah cukup. Aku tidak mau stalk profilnya lagi. Tapi aku ragu aku bisa melakukannya.

Kubuka lagi buku ku itu. Air mataku mengalir lagi. Air mata kecemburuan. "F*cking nonsense! Apa-apaan aku menangisi dia". Buku ku malah basah terkena jatuhan air mataku.

Suara ayam jago yang berkokok terdengar dan membangunkanku. Aku terbangun di lantai. Ternyata aku dari tadi malam ketiduran di sini. Atau mungkin pingsan? Aku tidak tau.

Aku bangun dan segera mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah. Baru kali ini aku tidak belajar untuk UTS. Aku hanya menyelesaikan satu bab. Itupun hanya pada pelajaran bahasa Indonesia. Yang PKN belum aku pelajari sama sekali.

Benar saja. Aku sangat kesulitan mengerjakan soal-soal. Teman-temanku yang meminta contekan kepadaku pun tidak bisa aku kasih contekan. Mereka pasti mengira kalau aku sekarang pelit padahal aku benar-benar tidak bisa mengerjakan soal.

Bel istirahat berbunyi. Seharusnya aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ku untuk belajar PKN. Tapi lagi-lagi aku malah stalking Facebook nya Dave. Aku sibuk membaca komentar-komentar di foto profil Dave yang baru.

Nita datang dan duduk di sampingku, "gimana tadi ulangannya?". Aku hanya menggeleng. Nita memegang tanganku yang sedang menggenggam ponsel, "belajar PKN bareng-bareng yuk Rin! Biasanya kamu dah ngerjain kisi-kisi kan?".

Biasanya aku memang selalu mengerjakan kisi-kisi. Tapi kali ini aku tidak mengerjakannya sama sekali. Aku bahkan belum membuka kisi-kisinya.

Aku hanya mengacuhkan Nita. Nita tak menyerah untuk berbicara denganku, "Rin, kamu lagi bad mood ya? Cerita dong...". Jelas saja aku lagi bad mood. Bagaimana tidak? Aku tau bahwa aku akan mengecewakan ayahku.

Kulihat Nita tersenyum kepadaku. Aku menutup Facebook ku dan memasukkan ponselku ke dalam saku rok ku, "Nit... Kayaknya aku bakalan gak naik kelas deh". Senyuman Nita hilang, "kamu bicara apa Rin? Kamu kan pinter banget. Mana mungkin kamu gak naik kelas."

Itu dulu sebelum aku mengenal Dave. Kali ini aku bukanlah Rina yang rajin. Aku menyesal tidak mematuhi mama untuk tidak menerima permintaan pertemanan dari orang yang belum kukenal.

"Kamu tau kan gimana hasil ulangan harian kemarin? Aku yang dapat peringkat paling bawah, Nit. Dan kali ini aku juga kesulitan ngerjain soal. Tadi aja cuma 8 soal yang aku yakin benar jawabannya", jelasku.

"Baru kali ini aku gak mengerti kamu, Rin. Jujur ya, aku kecewa sama kamu. Cuma gara-gara cowok itu kamu bisa berubah drastis kayak gini", kata Nita yang langsung meninggalkanku.

Nah, sekarang aku bukan cuma mengecewakan ayahku. Tapi juga mengecewakan temanku.

Sepulang sekolah aku langsung menjatuhkan diriku di ranjang. Kepalaku pusing memikirkan akan betapa marahnya ayah kepadaku.

Aku terbangun. Ternyata aku ketiduran lagi. Sekarang sudah pukul enam sore. Mama pasti sudah pulang dari sawah dan aku malah belum beres beres rumah.

Aku keluar dari kamarku. Mama mendekati ku, "gimana ulangannya Rin? Ini mama buatkan telur dadar kesukaanmu".

Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan mama. Kalau mama tau betapa diriku yakin akan mendapat nilai buruk pasti mama tidak akan memperlakukanku seperti ini. Tapi setahu mama aku ini adalah Rina yang selalu mendapatkan nilai di atas 8.

Hari-hari berlalu. UTS sudah selesai. Aku sangat khawatir akan hasil ulanganku. Kemarin-kemarin aku hanya membaca satu bab per pelajaran. Selain itu waktuku hanya aku habiskan untuk stalking dan menonton videonya Dave.

Ketika guruku mengumumkan nilai itu, semua mata di kelas tertuju padaku. Semua nilai ulangan ku di bawah 5. Bahkan pada pelajaran bahasa Inggris yang merupakan pelajaran favorit ku.

Guruku bertanya lagi untuk memastikan bahwa aku benar-benar tidak mempunyai masalah yang serius hingga bisa mempengaruhi nilai ku secara drastis. Aku tentu saja malu mendengar pertanyaan guruku itu. Apalagi beberapa temanku sudah tahu penyebab sebenarnya.

Aku menangis di perjalanan pulang sekolah. Entah bagaimana reaksi ayah nanti jika ia mengetahui hasil ulanganku.

Hal yang dari tadi aku khawatirkan pun tiba. Ayah pulang dari tempat kerjanya. Ponselnya berdering. Ayah mengangkat nya dan ternyata itu dari Ryuji.

Ayah memuji-muji ku di percakapan mereka. Aku jadi merasa lebih tidak enak mendengar ayah menceritakan betapa rajinnya aku dan betapa pintarnya aku di sekolah.

Selesai bertelepon, ayah menanyai nilaiku, "Rin, gimana nilai ulanganmu? Bagus-bagus kan?". Jantungku rasanya mau copot. Aku bingung bagaimana menjawabnya.

Ayah menatapku heran, "Kenapa diam saja, Rin?". Aku tak bisa mengeluarkan kata-kata dari mulutku. "A-anu yah... Ayah ti...tidak marah kan?", kataku terbata-bata.

"Jangan bilang nilaimu turun!", bentak ayah. Aku mengangguk, "I-Iya yah... Maaf yah, aku gak bermaksud mengecewakan ayah". Aku tak bisa menahan air mataku. "Kamu malu-maluin ayah, Rin! Kamu dengar tadi yang ayah katakan pada Ryuji kan? Ayah memuji-muji kamu! Tapi kamu malah bertindak sebaliknya!", ayah tentu saja pantas marah seperti ini.

Ayah menendang diriku yang sedang duduk di lantai, "mana kertas nilai mu? Bawa sini!". Tak mau situasi bertambah parah, aku langsung berdiri dan mengambil kertas nilaiku. Tanganku gemetar memberikannya kepada ayah, "maafin Rina yah..., Rina janji gak akan ngulangin lagi".

Ayah membaca kertas itu. Kepalaku rasanya semakin berat. Mata ayah melotot melihat nilai-nilai ku, "apa-apaan ini?!". Ayah menamparkan kertas itu di wajahku.

Mama yang dari tadi di dapur akhirnya menghampiri kami. Mama memelukku.
"Ma... Aku memang salah, ma. Aku mengecewakan ayah", aku masih terisak-isak.

Ayahku menghela nafasnya, "Rina, awas kalau di UKK besok kamu seperti ini lagi! Ini yang terakhir kalinya ayah maafin kamu. Ayah gak mau tau apapun alasannya". Aku mengangguk, "makasih, yah. Aku janji gak akan ngulangin lagi".

Ayah masuk ke kamarnya. Seharusnya ayah bisa lebih marah kepadaku. Tapi kali ini dia lebih tenang. "Rin, kenapa nilai-nilai mu turun drastis?", tanya mama. Aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, "maaf ma... Aku juga gak tau. Akhir-akhir ini aku gak bisa konsentrasi belajar".

Mama tersenyum dan mengusap kepalaku, "kalau kamu memang gak mau ke Jepang bilang saja, Rin. Jangan dipendam seperti itu. Malah kamu jadi gak fokus belajar kan?". Aku menggelengkan kepalaku. Bukan seperti itu ma. Sebenarnya aku ingin sekali ke Jepang untuk menemui Dave. Tak peduli dia yang telah membuatku seperti ini.

"Enggak ma. Aku mau ke Jepang kok. Mau banget malah. Aku gak tau kenapa. Mungkin memang materi sekarang lebih sulit daripada kemarin, hehe", jawabku dengan alasan tidak masuk akal.

Mama tersenyum, "ya udah, Rin. Sekarang kamu istirahat ya. Tapi kamu janji besok lebih giat belajar lagi". Aku mengangguk, "iya. Makasih ma".

Kali ini aku bertekad. Aku tidak akan mengulangi hal itu. Aku tidak mau membuat orangtuaku kecewa lagi. Bagaimana jadinya kalau aku tetap seperti ini dan aku tidak naik kelas.

Aku membuka ponselku lagi. Kali ini bukan untuk stalking Facebook dan Instagram nya Dave. Tapi untuk memblokir akun Facebook dan Instagram nya itu. Aku tersenyum lega, "untuk kali ini, aku tidak mau konsentrasi ku terganggu lagi."

A Tribute For You (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang