Aku selalu sesibuk pagi itu, mandi, sarapan, dan berangkat ke sekolah. Terlihat seragam sekolah terlipat rapi di atas tempat tidurku, siap untuk aku pakai. Nasi goreng yang tercium seperti sarapan di meja makan siap untuk kusantap. Bapak telihat rapi dengan rambut klimis disisir ke kanan, sedang menyalakan mobil, untuk segera mengantarku ke sekolah, dan langsung berangkat ke tempat kerjanya di jalan pemuda, kantor perusahaan asuransi. Setiap hari selalu seperti ini , entah kapan semua ini akan berakhir, mungkin besok saat air mata Reza Rahardian menetes terakhir kalinya.
"Lar bekalmu ada di atas meja makan, mamah mandi dulu" Kata ibuku dari dalam kamar mandi.
"Males ah mah, ribet, mending jajan" Jawabku sambil memakai sepatu "Berangkat dulu mah, assalamu'alaikum"
Membawa bekal dari rumah menurutku ribet , kenapa harus membawa bekal makanan toh uang yang digunakan untuk memasak bekalku sama saja jika aku membeli makanan di kantin, bisa jadi lebih murah, dan lebih praktis. Kata ibu makanan di luar kebersihan tidak menjamin , banyak makanan yang dimasak di luar sana tidak steril. Begitulah ibu sangat memikirkan tentang makanan, tapi bagiku makanan ya hanya makanan tidak harus terlalu dipikirkan asal-usulnya, tak harus sesteril makanan di rumah sakit, makanan buatan rumah sakit saja rasanya tidak enak.
"Wa'alaikumsalam, jangan jajan yang aneh-aneh, pulang sekolah langsung pulang" Kata ibuku.
Perjalanan dari rumahku ke sekolah butuh sekitar lima belas menit kalau jalanan lancar, jika macet butuh lebih dari itu, harus melewati flyover Jatingaleh yang baru selesai dibuat dari pengerjaan lebih dari dua tahun.
"Pagi Lar, disiram lagi sama ibu ya, haha" Begitulah sapaan mas Beni, tukang kebun di sekolahku jika aku tidak terlambat datang ke sekolah. "Pagi mas, disiram kuah soto tadi" Jawabku cengengesan.
Mas Beni juga punya kantin di sekolah, kantin itu diurus oleh istrinya, anak mas Beni juga siswa di sekolah ini. Soto di kantin mas Beni merupakan soto paling enak dari soto yang ada di kantin lain.
"Ke kelas dulu ya mas, belum ngerjain pr nanti suruh bantuin mas Beni motong rumput lagi sama bu Yuni"
"Kamu berangkat pagi, kalau gak kepagian ya belum ngerjain pr, paham aku"
"Semangat mas nyapunya" Jawabku sambil berlari terburu-buru ke kelas karena ada pr matematika yang belum aku kerjakan.
Kelas terlihat ramai oleh orang yang mondar-mandir dari satu meja ke meja lain, seperti pasar tumpah diakhir pekan. Kubuka tas dan mengambil buku tugas , segara aku bergabung mondar-mandir bersama yang lain.
"Nomer tujuh siapa yang udah selesai" Tanyaku kepada siapa pun itu sambil keliling kelas.
"Ini punyaku, udah lengkap, selesai" Riska menyodorkan buku tugasnya, entah dia sudah selesai mengerjakan atau selesai mencontek seperti yang lain.
"Pinjem dulu, aku bawa"
"Ntar kembaliin lagi"
Sekolah lebih baik jika tidak dinikmati, biarkan apapun terjadi dengan sendirinya. Walapun kadang membuatku pusing, dan lelah. Duduk seharian di kursi, mendengarkan nasihat-nasihat guru yang teman-temanku sering sebut pelajaran, dan saat guru sedang menulis di papan tulis mataku harus dengan senang hati menatap pantatnya.
Sudah lebih dari lima jam aku ada di sekolah, akhirnya terdengar bel pulang. Aku pulang besama tugas yang harus dikumpulkan keesokan hari, bu Yuni kembali memberi tugas matematika. Aku sebenarnya sudah lama ingin kenal dengan orang yang menemukan matematika pertama kali, aku ingin berterimakasih karena para guru les privat tidak kehilangan pekerjaan mengajari anak-anak yang dibuat pusing karena temuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Box Office: Skenario Impian
General FictionSebuah novel yang berangkat dari kegelisahan saya sendiri, semoga menyukai. . Semenjak ayahnya meninggal Pillar menjadi anak yang bandel, nakal, tidak betah dirumah, dan selalu menghabiskan waktunya bersama teman-teman, menjadikannya tidak disukai p...