Dinding kamar aku tenpeli kertas-kertas yang berisi ringkasan berbagai mata pelajaran dan rumus penting. Semua aku tulis besar-besar dengan spidol agar gampang diingat. Di atas segala macam tempelan pelajaran ini, aku tempel sebuah kertas karton merah, bertuliskan tulisan arab tebal-tebal: Man jadda wajada! Mantra ini menjadi motivasiku kalau sedang kehilangan semangat. Bahkan aku teriakkan kepada diriku, setiap aku merasa semangatku melorot. Aku paksa diriku lebih kuat lagi. Aku lebihkan usaha. Aku lanjutkan jalanku beberapa halaman lagi, beberapa soal lagi, beberapa menit lagi. Going the extra miles. I'malu fauqa ma 'amilu. Berusaha di atas rata-rata orang lain.
Kalau aku lihat di cermin, badanku kini mengurus, agak pucat, dan mataku merah. Tapi aku tidak peduli. Ini perjuangan penting dalam hidupku. Mungkin menjadi penentu nasib masa depanku. Amak dan Ayah tampak cemas melihat aku belajar seperti orang kesurupan. "Nak, jangan terlalu diforsir tenaga itu, jaga kesehatan, jangan sampai tumbang di masa ujian," kata Anak ketika datang ke kamarku membawa sekadar goreng pisang atau teh telur.
Ayah kadang-kadang menjengukku yang sedang belajar di kamar. Tapi komentarnya biasanya tidak ada hubungannya dengan pelajaran. "Ramai benar ini. Tim kebanggan kita Semen Padang akan melawan Arema Malang untuk memperebutkan juara Galatama. Kapan lagi tim urang awak bisa juara," kata Ayah. Telunjuknya seperti menusuk-nusuk tabloid Bola, saking bersemangatnya. Ayah lalu meninggalkan tabloid itu di meja belajarku. Ingin sekali aku membaca semuanya, tapi belajarku tidak boleh terganggu. Supaya tidak tergoda, semua koran dan tabloid yang diberikan Ayah aku lempar ke atas lemari baju yang tinggi.
Akhirnya ujian persamaan sebagai syarat ikut UMPTN datang juga. Dilepas dengan do'a dari Amak dan Ayah aku merasa siap maju ke medan perang. Aku tidak boleh kalah dengan keadaan dan keraguan orang lain. Satu per satu aku jawab soal ujian dengan perasaan panas dingin. Walau hampir selalu bergadang, belajar kerasku beberapa minggu terakhir ini tampaknya masih kurang. Banyak soal yang aku sama sekali tidak tahu entah dari buku mana sumbernya. Dengan bahu yang menguncup, aku keluar ruang ujian paling terakhir. Hatiku rusuh dan bergelimang penyesalan. Kenapa aku tidak belajar lebih keras lagi kemarin? Bagaimana kalau nilaiku tidak cukup bahkan untuk sekadar mendapatkan ijazah SMA?
Beberapa minggu kemudian, dengan takut-takut aku datang ke kantor panitia ujian untuk melihat nilaiku. Dengan wajah meringis, aku balik juga map karton manila kuning itu. Aku sungguh takut melihat kalau ada tinta merah di dalamnya. Alhamdulillah, tidak ada merah, semua biru. Tapi bukan biru perkasa, nilaiku cuma rata-rata 6,5.
Aku tidak tahu harus bersyukur atau prihatin. Syukur karena nilaiku dianggap cukup untuk mendapatkan ijazah setara dengan SMA. Tapi aku prihatin dengan nilai rata-rataku. Dengan modal ini bagaimana aku akan bisa lulus UMPTN? Randai bahkan mungkin akan tergelak atau malah kasihan melihat nilaiku ini.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
One down, one more to go. Pertarungan yang lebih ketat telah di depan mata: UMPTN. Kalau ujian persamaan adalah pertandingan melawan diri sendiri sekaligus "musuh" dari seluruh Indonesia. Yang aku perebutkan adalah se yah kursi yang juga diincar oleh ratusan ribu tamatan SMA si seluruh Indonesia. Aku baca di koran, hanya sekitar 15 persen peserta yang lulus. Arinya hanya 15 orang yang lulur dari 100 peserta ujian. Jumlah yang mengkhawatirkan hatiku.
Aku membolak-balik lagi lembar buku panduan UMPTN dan formulir yang baru saja aku beli. Aku takjub tapi juga bingung. Keningku berkerut-kerut. Begitu panjang daftar universitas, fakultas, dan jurusan yang ada, dan aku tidak bisa membayangkan sebetulnya apa yang akan dipelajari di masing-masing jurusan. Jariku kembali mengikuti satu per satu nama-nama bidang studi yang ada di buku panduan itu. Sastra Arab, Inggris, Jepang, Administrasi Negara, Ekonomi Pembanguna, Akutansi, Hukum, ...ah tidak ada yang mengena di hati. Tiba-tiba jariku berhenti. "Jurusan Hubungan Internasional".