15

84 8 3
                                    

"Pada kenyataannya, hatiku memang selalu berdebar untukmu. Baik saat aku senang, atau dalam isak tangisku sekali pun."

Jam pulang sekolah baru saja berdering dengan nyaringnya. Suasana kelas yang sebelumnya sunyi senyap kini mulai riuh dengan sorakan murid-murid dan suara resleting tas yang dibuka dengan tak sabar.

Aku melirik Aninda yang duduk disampingku, "Pulang sama siapa, Nin?"

"Dijemput sama Joni hehehe."

"Oke deh hati-hati." Aku tidak perlu bertanya lebih banyak, Joni adalah nama pacar barunya saat itu.

"Hem? Kamu gimana, Di? Kalau ada apa-apa, cerita ya." kata Aninda seraya menatapku dengan lekat.

Aku tersenyum kecil sambil memasukkan kotak kacamataku ke dalam tas. "Iya sayang... Tenang aja, oke?"

"Aku duluan ya, Di. Joni udah di depan."

"Oke, dadahhh..!"

Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, aku mengambil ponselku dan berjalan ke luar kelas.

Ddrtt.. ddrrt...
Kak Dafa Ketua Ekskul
diana
km dimana?

Dianaglvn
aku baru mau pulang daf

Kak Dafa Ketua Ekskul
km ke halte kan?

Dianaglvn
iya. kenapa?

Kak Dafa Ketua Ekskul
10 menit lagi aku kesana.
km udh makan? mau kubawain sandwich?

Dianaglvn
gak kok, aku gak laper.

Kak Dafa Ketua Ekskul
oke

Begitu yakin tidak ada pesan dari Dafa, aku kembali memasukkan ponsel ke dalam saku-ku.

Aku berjalan menuruni tangga dengan perlahan. Kejadian tadi siang saat istirahat itu masih terus memaksa otakku untuk berpikir. Padahal tidak ada urusannya sama sekali denganku, kan?

Dafa mau ngomong apa ya? gumamku dalam hati. Tumben nanya aku ke halte atau enggak. Biasanya juga langsung muncul.

Aku tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk sampai di halte. Hanya ada dua ibu-ibu yang datang ke halte siang itu. Dan entah kenapa, aku mulai berharap agar kedua ibu itu pergi. Aku hanya ingin berdua saja dengan Dafa. Syukurnya tak lama kedua ibu itu pergi satu persatu.

Aku masih sibuk menyiapkan mental untuk bertanya kejadian tadi pada Dafa sampai akhirnya aku mendengar seseorang yang berlari dengan terburu-buru.

Akhirnya dia datang.

"Minum." katanya singkat sambil menyedorkan satu kaleng soft drink.

"Eh?"

"Aku gak tau kamu suka minum apa. Jadi aku beliin ini aja. Suka, kan?"

Aku manggut-manggut dan meraih kaleng itu dari tangannya. "Makasih, Daf. Gak usah repot-repot."

"Enggak kok, gak repot. Perlu dibukain gak?"

"Gak usah, aku bisa sendiri."

Kali ini, Dafa yang manggut-manggut dan mulai menyeruput minumannya dengan pelan. "Makasih juga."

"Buat apa?"

"Nungguin aku."

"Baru sebentar kok."

"Tetep aja." katanya lagi. "Kamu ... gak mau nanya sesuatu gitu? Ke aku?"

Lidahku kelu. Aku menatap matanya dengan lekat. Bola mata itu tampak membesar, mencoba mencari tahu apa yang tengah aku pikirkan.

"Heh? Nanya apa?"

"Tadi..." kata Dafa mendadak yang membuatku kaget. Bagaimana dia bisa tahu?

"Aku gak perlu tahu, kan?"

"Aku yang pengen ngejelasin ke kamu." sahutnya lagi.

"Aku sempet ngeliat kamu tadi, di atas. Lagi bengong. Kok hobi banget sih melamun?"

"Heh? Iya ya?" mau tak mau aku tersenyum kecut.

Dafa tersenyum kecil. "Bohong kalau kubilang mereka gak suka sama aku. Aku memang deket sama keduanya, tapi aku gak ada bermaksud serius sama mereka, Diana."

"Desas desus yang bilang aku deket sama banyak cewek, emang bener." kata Dafa lagi. Jelas, aku kaget. Kok dia berani banget ngomongnya?

"Tapi aku bahkan gak ngasi harapan ke mereka kayak aku ke kamu, Diana. Kepalamu yang kecil itu, gak perlu mikirin yang enggak-enggak." lanjutnya lagi sambil menggosok poniku yang pasti tampak berantakan karena diterbangkan angin.

Bertepatan dengan itu, bus yang seharusnya kunaiki datang.

"Aku pulang, ya?"

"Jangan. Biar aku yang anter."

"Gak usah, Daf. Aku ngerti, kok. Kamu gak harus jelasin ke aku." ujarku dengan sungguh-sungguh.

Aku tidak berbohong. Penjelasannya tadi sudah cukup kumengerti. Dia tidak perlu merayuku agar aku tidak marah, kan? Aku bahkan tidak memiliki hak untuk marah.

"Aku yang pengen jelasin ke kamu." sahutnya singkat lalu meremas minuman kalengnya yang sudah habis. "Biar aku yang anter pulang, ya? Busmu udah kuusir."

"Yaudah, deh. Lumayan ojek siang-siang." candaku mencoba mencairkan suasana. Sebenarnya, aku hanya merasa tidak nyaman dengan obrolan barusan. Aku tak bisa melihat senyuman Dafa yang biasanya selalu dilemparkannya untukku.

Dafa tertawa kecil. "Tunggu disini, ya."

"Aku ikut aja."

"Jangan, tunggu disini aja. Gak lama kok."

"Ya udah, deh."

"Lain kali kalau mau marah, marah aja ya?" tanya Dafa lagi, sebelum benar-benar pergi ke parkiran sekolah untuk mengambil motornya.

"Ngapain marah? Aku gak punya hak buat marah kan? Hehehe.." sahutku terus terang.

Dafa menggeleng. "Kalau kamu mau, dengan senang hati aku ngasih hak itu kok."

"Eh?"

Dafa hanya tersenyum dan mengusap kepalaku dengan lembut lalu buru-buru berlari ke parkiran sekolah. Kejadian itu terjadi dengan cepat. Aku bahkan belum sempat bernafas.

Aku berdiri, mematung. Jantungku rasanya sudah mencelos ke sepatuku. Sebentar lagi, aku akan berboncengan satu motor dengannya!

Tak lama, aku melihat Dafa dari kejauhan, mengendarai motornya. Bayangkan! Bagaimana bisa aku menahan pesonanya yang perlahan mulai mengusikku?

MY BEST MISTAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang